kehidupan, kemanusiaan

ARE WE PLAYING WITH GOD?


Sebagai dua artikel yang wajib dibaca di pengantar Kajian Strategis, The Future of Strategic Studies karya Thomas G. Mahken dan Conclusion: What Is The Future of Strategic Studies? Karya Paul Dibb, mengingatkan saya pada perbincangan langsung mengarah pada wawancara mantan Menteri Perdangangan, Gita Wirjawan dengan Prof. Herawati Sudoyo, dosen FK – UI dan pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijikman.

Kenapa ke sana? Sebelum saya jelaskan izinkanlah terlebih dahulu saya sedikit membahas apa itu Kajian Stratejik dari apa yang saya pahami menurut 2 artikel yang saya baca tersebut.

bahasa, berita, budaya, cinta, cinta tanah air, kehidupan, keseharian, kesehatan, lingkungan hidup, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan, sastra, seni

WAHYUDI DAN DESA YANG TAK MEMPUNYAI MALAM


“Desa yang Tak Mempunyai Malam” demikianlah Wahyudi Bahtiar menyebut desanya. Desa yang ia maksud adalah Tigasan Wetan, yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo. Ia memberi julukan demikian karena masyarakat desanya, yang di siang hari umumnya bekerja di ladang atau buruh bangunan, banyak yang memelihara ternak, sehingga kalau malam harus tetap berjaga untuk mengamankan sapi atau kambingnya dari pencurian hewan. Sungguh kasihan, bukan?

29177737_1985088528424679_8215439486678045971_n

Tapi sekarang, kata Wahyudi sih, sudah mulai aman. Warga di desanya sudah dapat menikmati istirahat di malam hari. Oleh karena itu, pemuda yang mengaku lahir saat rutuhnya pemerintahan Orde Baru namun tidak merasakan dampak kerusuhan 1998 ini mengaku ingin menceritakan segala keunikan dan kelebihan desanya, dan Probolinggo.

Ia tak ingin orang lain mengenal desanya sebagai daerah yang ramah terhadap pencurian ternak, begal, atau bahkan carok. “Probolinggo masih mempunyai banyak kelebihan, semua harus tahu itu,” katanya.

Continue reading “WAHYUDI DAN DESA YANG TAK MEMPUNYAI MALAM”

budaya, buku, kehidupan, lingkungan hidup, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan

EMRONI SIANTURI, ANAK PANTAI YANG MENGGILAI MAS WILLY


Nama Kalibuntu mungkin masih terdengar asing bagi sebagian besar orang Probolinggo. Tapi siapa sangka, di tempat yang boleh dibilang jauh dari hiruk kota tersebut, lahir seorang pemuda cerkas yang mewarnai sastra kota ini. Ya, Emroni Sianturi, pemuda kelahiran Kalibuntu, 6 Desember 1995 ini adalah adalah penggagas Warna Sastra – sebuah komunitas yang fokus pada gerakan literasi anak muda Probolinggo.

Sekedar info, kali pertama bertemu Emroni kalo nggak salah tuh tahun lalu… kala itu Problink hadir di sebuah acara literasi yang diadakan oleh Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) di SMK 1 Probolinggo. Ya, rasanya, setelah beberapa lama tak bersua, moment lebaran emang paling afdol buat kembali mempererat silaturahmi dan sedikit kepo mengenai makhluk yang satu ini, yang katanya “Penyair Amatiran yang Lupa Beristri”. Hahahahaha…

WhatsApp Image 2019-06-10 at 11.34.03
Emroni di lingkungan rumahnya…

Continue reading “EMRONI SIANTURI, ANAK PANTAI YANG MENGGILAI MAS WILLY”

cinta, hobby, kehidupan, keseharian, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan, seni

Sulap, Buku dan Masa Kecil Firmansyah Raditya


Bulan ini nama Kota Probolinggo kembali bergema di tingkat nasional. Hal itu dikarenakan, nama Firmansyah Raditya, mentalist kebanggan kita, kembali menjuarai event Bimsolobim yang digelar di The Park Mall Solo, Jawa Tengah. Ya, pria yang pernah menjadi Juara 1 Mentalist Nasional di 2018 ini, kini kembali masuk dalam jajaran 6 besar pesulap Jawa Tengah.

Firmansyah Raditya

“Jawa Timur, mana suaramu?!”

Hahahaha. Ya, saya girang, dan segera menghubunginya…

Firman, sela ragam kesibukannya sebagai ayah, musisi dan performer di salah satu TV swasta di Kota Probolinggo, Firman menyempatkan waktu untuk berbincang mengenai sulap, buku, dan masa kecilnya di Probolinggo.

Dan berikut transkirp percakapan kami~

Continue reading “Sulap, Buku dan Masa Kecil Firmansyah Raditya”

bahasa, budaya, buku, cinta tanah air, kehidupan, kemanusiaan, kesehatan, renungan, sastra, spiritualitas

PUISI DIALEKTIS DI KOTA TUHAN


Judul Buku      : Di Kota Tuhan

Penulis             : Stebby Julionatan

Cetakan           : I, September 2018

Tebal               : xiv+74 halaman

ISBN               : 978-602-309-333-5

Peresensi         : Indra Tjahyadi*)

 

Penyair bukanlah seseorang yang tidak peduli dengan lingkungan yang mengitarinya. Penyair bukanlah penyendiri yang tidak peduli dengan dunia sosial yang menjadi arena kehidupannya. Penyair adalah seseorang yang senantiasa bersetia melakukan dialektika dengan apa yang menjadi bagian dari keberadaannya. Penyair adalah ia yang lebur ke dalam dunia.

Inilah, kira-kira, yang ingin disampaikan oleh Julionatan dalam buku kumpulan puisinya Di Kota Tuhan (Indie Book Corner, 2018). Buku ini merupakan buku keempat Julionatan, sekaligus buku bergenre puisi kedua yang diterbitkannya. Namun, berbeda dengan buku puisinya yang berjudul Biru Magenta (2015), dalam buku puisinya yang berisi 43 judul puisi ini, Stebby Julionatan melakukan dialektika yang intens dengan berbagai hal yang mengitarinya. Dialektika tersebut tidak saja pada hal yang bersifat material, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat non-material.

Continue reading “PUISI DIALEKTIS DI KOTA TUHAN”

budaya, cinta, hobby, kehidupan, keseharian, motivasi, pariwisata, pemerintahan, pendidikan, penghargaan, renungan, sejarah

Yoke Arifah, MC Segala Bisa


Suka atau tidak, setuju atau tidak, di dunia per-MC-an Kota Probolinggo, nama Oke (biasa dipanggil Mbak Oke) sudah menjadi legenda. Gayanya yang kenes, ceplas-ceplos dan usil menjadikan acara apapun yang ia kemudikan, jadi meriah. Ia benar-benar menjadikan acara tersebut “miliknya”.

253223_577876698900084_1229159005_n

Ya, programer dan penyiar senior Suara Kota ini hapal segala hal yang harus ia sampaikan; apa-apa saja kelebihan produk yang tengah ia bawakan, siapa saja nama-nama undangan yang hadir, sampai hal-hal kecil yang sebelumnnya tak kita pedulikan atau sadari -seperti hari ulang tahun atau zodiak pemilik acara, ia lahap habis semuanya. Hebat kan?

Dan itu semua dilakukannya di luar kepala. Sekali lagi, di luar kepala! Benar-benar tanpa teks. What an amaze!

Jujur harus saya akui, secara pribadi saya banyak menyerap ilmu darinya, terutama ketika saya diwajibkan memandu program siar Laporo Rek!, program yang dulunya ia create dan gawangi. Thank you so much, Sista!

Dan berikut adalah wawancara saya dengan pemilik nama asli Yoke Arifah ini: Continue reading “Yoke Arifah, MC Segala Bisa”

budaya, buku, cinta, kehidupan, kemanusiaan, keseharian, motivasi, pendidikan, renungan, sastra

MENDEKATKAN LITERASI PADA EKONOMI KREATIF


Catatan Mengenaskan Bangsa

Sebuah catatan lembaga survey UNESCO (United Nations of Education Society and Cultural Organization) tahun 2011 menemukan fakta bahwa index membaca masyakarat Indonesia hanyalah 0,001. Ini berarti dari 1000 jiwa penduduk Indonesia, hanya ada 1 orang yang hobi baca. Menggenaskan bukan? Survey tersebut menguatkan temuan UNDP (United Nations Development Programs) di tahun 2010, dimana Human Developmen Indeks  Indonesia masih berada di peringkat 112 dari 175 negara.

Mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa manusia Indonesia jauh dari buku? Mengapa juga profesi pengarang tidak dilirik? Ia jauh dari hiruk pikuk dunia mode dan trend. Ia tidak berkilau. Kalah jauh dengan artis papan iklan atau bintang sinetron di televisi. Mengenaskan, bukan?

Bagi saya jawabannya adalah, karena profesi tersebut tidak secara langsung mendatangkan keuntungan. Ya, manusia suka keuntungan. Termasuk dalam berprofesi, ia suka melihatnya dari kacamata untung rugi. Keuntungan di sini tidak hanya berarti materi, tetapi juga eksistensi, kebanggaan, dan pujian dari masyarakat sekitar.

Diakui atau tidak, manusia itu suka melihat hal-hal yang cantik, manusia itu suka kalau dirinya dikagumi. Continue reading “MENDEKATKAN LITERASI PADA EKONOMI KREATIF”

bahasa, budaya, buku, cinta, kehidupan, kemanusiaan, motivasi, pendidikan, penghargaan, sastra, seni

Sebab Kita Tak Setabah Daun


Oleh: Hardi Alunaza Saradiwa*)
(dimuat di Tribun Jogja. Minggu, 16 Agustus 2015)

Pada umumnya buku kumpulan puisi bercerita dengan bagian yang terpisah antara halaman satu dengan halaman yang lainnya, baik dari segi judul maupun makna yang terkandung dari diksi yang disuguhkan kepada pembaca. Berbeda dengan buku Biru Magenta ini. Buku ini merupakan sebuah buku kumpulan puisi yang mengisyaratkan percakapan antara Biru dan Magenta yang dari setiap judul halaman yang tersedia saling bersambung, melengkapi dan terasa hidup dalam percakapan yang tertuang. Biru diumpamakan seperti langit yang selalu melingkupi orang tersayang dan Magenta adalah cinta yang menyala pada kelamnya biru malam. Keduanya saling berujar tentang cinta, kasih sayang dan kerinduan dengan bahasa yang sangat terbuka, terlalu jujur. Mengambil latar tempat seperti Malang, Jakarta, Probolinggo, dan Solo, Biru dan Magenta mengajak kita merenungkan perjalanan masa lalu serta kenangan yang telah terabadikan. Kita seolah diberikan ruang untuk menyuarakan jutaan perasaan yang pernah datang dan hinggap dalam ruang kehidupan.

 

Continue reading “Sebab Kita Tak Setabah Daun”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, kehidupan, kemanusiaan, keseharian, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan, sastra, spiritualitas

MEMBACA BIRU MAGENTA, MEMBACA BENTENG BADAI LEMBUT PERTUKARAN RASA


Membaca buku puisi Biru Magenta adalah membaca amuk perasaan namun lembut. Lembut tapi ada api dan amuk. Apalagi dihasilkan oleh dua sisi penyair yaitu Stebby Julionatan dalam Birunya dan Ratna Satyavati dengan Magentanya. Dua pilihan warna ini awalnya sederhana dan mudah diingat oleh kita yang punya kesepakatan tentang makna warna. Simbol warna itu mengingatkan saya bila berada di toko perlengkapan bayi, biasanya kita akan diberi pilihan warna biru untuk bayi laki-laki dan merah muda untuk bayi perempuan. Meski tak persis betul dengan Biru Magenta, karena merah muda bukan magenta.

Biru tentu mengingatkan kita pada langit dan lautan, meski ada langit tak biru, meski ada laut tak biru. Sedang magenta adalah seesuatu yang sepi sendiri, karena itu warna pertumpahan darah di bumi. Tapi sesekali ada langit atau laut berwajah magenta. Dan pertemuan biru dan magenta yang menjadi langit magenta, atau pertemuan yang dihasilkan laut magenta, maka begitulah saya membaca puisi Biru Magenta ini. Moment pertemuan Biru dan Magenta adalah pertemuan yang jarang. Seperti gerhana, munculnya pelangi, adalah peristiwa alam yang khusus. Maka kita pun akan merayakannya, seperti juga puisi Biru Magenta ini.

Continue reading “MEMBACA BIRU MAGENTA, MEMBACA BENTENG BADAI LEMBUT PERTUKARAN RASA”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, kehidupan, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan, sastra, seni

Malam 3 Jarak: Antara Probolinggo, Solo, dan Jogjakarta


Pembicara menyampaikan materinya dalam acara “Malam 3 Jarak” di ruang utama Balai Soedjatmoko, Sabtu (14/11). (Foto: Dian)

lpmkentingan.com-Ruang utama Balai Soedjatmoko dipadati puluhan pengunjung dari berbagai kalangan, Sabtu (14/11). Acara bertajuk “Malam 3 Jarak” yang dimulai pada pukul 19.00 WIB itu merupakan perayaan tiga buku dari para penulis yang kesemuanya berbeda kota. Dalam acara itu nampak pula beberapa penulis seperti Han Gagas, Edi Akhiles, Sanie B. Kuncoro, Indah Darmastuti, Yudhi Herwibowo, Ngadiyo, dan lain-lain.

Tiga buku yang dirayakan dalam “Malam 3 Jarak” ialah Biru Magenta, kumpulan puisi karya Ratna Satyavati dan Stebby Julionatan asal Probolinggo; Sundari Keranjingan Puisi, kumpulan cerpen karya penulis asal Solo Gunawan Tri Admodjo; dan Suluk Senja, kumpulan puisi karya Dimas Indiana Senja dari Jogjakarta. Tiga buku tersebut tidak memiliki keterkaitan tema. Setiap buku berdiri dengan tema masing-masing. Hadir sebagai pembicara ialah Puitri Haiti Ningsih, Kalis Mardiasih, dan Serunie Unie. Setiap pembicara bertanggungjawab mengulas satu buku.

Biru Magenta merupakan representasi dari Puisi Magenta karya Ratna dan Puisi Biru karya Stebby Julionatan. Di mana magenta merupakan warna yang dianggap simbol keperempuanan, sedangkan biru ialah simbol kelelakian. Sundari Keranjingan Puisi diakui penulisnya merupakan cerita-cerita yang ditulis sebab Gunawan ingin membaca cerita tersebut. Ia menulis apa yang ingin ia baca, begitu tuturnya. Sedangkan Suluk Senja lebih condong kepada pemaknaan sang penulis terhadap cinta kepada Tuhannya.

Sekitar tiga jam acara berlangsung, Karisma Fahmi selaku moderator cukup disibukkan dengan banyaknya umpan balik dari pengunjung. “Malam ini ramai dibanding biasanya (acara-acara sastra di Balai Soedjatmoko, red), aku bawa tujuhpuluh buletin habis. Penulis-penulis biasanya tak kasih tiga, lima. Ini habis. Padahal biasanya masih setumpuk yang tak bawa pulang,”ujar redaktur buletin sastra Pawon, Yudhi Herwibowo seusai acara. (Nada, Ifa)

 

tulisan ini diambil dari: http://lpmkentingan.com/kilas/malam-3-jarak-antara-probolinggo-solo-dan-jogjakarta.html