bahasa, budaya, cinta, cinta tanah air, film, hobby, kehidupan, kemanusiaan, motivasi, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, sejarah, seni, spiritualitas

SUPERNOVA, VISUALISASI RIZAL DAN BEBAN TEKS


Judul film          : Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh
Genre               : Science Fiction
Sutradara         : Rizal Mantovani
Skenario          : Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya berdasarkan novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari
Produser          : Sunil Soraya
Pemain             : Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Paula Verhouven, Arifin Putra, Hamish Daud, Hany Pattikawa.
Produksi          : PT Soraya Intercine Films
Durasi              :     menit
Tanggal Rilis   : 11 Desember 2014
Peresensi         : Stebby Julionatan *)

S U P E R N O V A

– Diperuntukkan bagi Anda yang ingin HIDUP –

Selamat datang.

Hari ini Supernova mengajak Anda nonton ke bioskop.

Ingatkah Anda ketika sedang berada dalam bioskop, menyaksikan sebuah film yang menggerakkan emosi? Detik pertama Anda larut, layar yang penuh cahaya dan warna itu telah berhasil menyentuhkan kehidupan ke dalam pikiran Anda. Membuat Anda menangis, tertawa, atau bahkan ingin membunuh seseorang.

Di posisi itu, Anda adalah penonton. Penonton pasif yang distimulasi oleh stimulus-stimulus virtual yang aktif. Apakah stimulus-stimulus tadi punya kepentingan tertentu? Kepentingan mereka hanya satu: berkembang biak. Melalui Anda semua. Apa yang Anda pikir tidak hidup, ternyata hidup, dan SANGAT hidup. Mereka seperti virus, tak dapat didefinisikan hidup atau mati, sampai ia menemukan inang untuk dijadikan medium. Respons negatif atau positif Anda tidak menjadi pertimbangan. Mereka sudah mendapatkan hidupnya, di detik pertama Anda mulai memberikan reaksi. Mulai memberikan arti.

*****supernova-poster

Demikian penggalan pesan Supernova saat ia menyapa penciptanya, Dhimas dan Ruben. Surel yang membuat mereka berdua syok dan mulai menimbang-nimbang (bahkan menyadari) bahwa keduanya adalah dalang tempelan. Dua orang pria yang bahkan tidak punya nama belakang, yang hidup dalam sebuah molekul pikiran penulis lain dan akan tamat riwayatnya pada saat halaman terakhir buku tersebut selesai ditulis.

Ekspektasi yang besar dapat merusak citra kita terhadap sesuatu. Sama seperti kemunculan film ini. Tak dipungkiri bahwa film ini –yang diangkat berdasarkan novel Dewi Lestari berjudul sama (Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh), yang sempat menjadi mega best seller beberapa kurun waktu yang lalu (2001) – telah pula menimbulkan polemik sejak ia menjadi ide untuk difilmkan. Ia, Supernova, berangkat dari ekspektasi jamak yang besar terhadap bagaimana sosok sang cyber avatar saat ia divisualisasikan ke layar lebar. Tak hanya mengenai setting dan jalan cerita, tentang bagaimana memangkas alur novel pelik yang syarat akan muatan sains dan filsafat ini ke dalam tontonan dua jam, tapi juga mengenai siapa saja yang akan menjadi deretan aktor dan aktris pemerannya pun senantiasa menimbulkan rasa penasaran dan sangsi.

Kita cenderung membanding-bandingkan antara novel dan film.

Kita sudah terbebani. Kita duduk di dalam bioskop sudah dengan bekal pembanding (yang notabene semakin memberatkan beban kita) untuk menikmati karya ini sebagai tontonan yang utuh.

Tak pelak, setelah akhir tahun lalu diputar secara perdana di beberapa kota di Indonesia, ragam pendapat muncul. Dan dari pendapat yang jamak tersebut, banyak yang tidak puas dengan tokoh Diva. Pemeran Diva (Paula Verhouven) dianggap cantik belaka tapi kosong. “Kenapa harus mempekerjakan artis yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dalam film ini?” Begitulah salah satu dari ragam protes yang muncul. Wajar, sebab diakui atau tidak, Paula memang bukanlah narator yang baik. Untuk sebuah film yang penuh dengan narasi, pelafalannya tidak nyaman untuk didengar oleh telinga orang Indonesia.

Wajar banyak yang merasa kecewa pada sosok Diva, karena percakapan-percakapan cerdas ala Diva di novel tak turut divisualisasikan dalam film ini. Bagi saya pribadi, di samping percakapan ber’isi’ dengan salah satu pelanggannya, Dahlan, mengenai Siemens, Diva… sang pelacur kelas wahid yang berprofesi sampingan sebagai model itu justru tampak sangat anti-mainstream dan smart ketika ia menjuri sebuah lomba peragaan busana anak-anak yang diponsori oleh agency-nya. Sesuatu yang dilewatkan Rizal Mantovani sebagai sutradara.

Tapi di sisi lain, sebenarnya saya bersyukur ketika Paula (atau Diva), yang di novel Dee (nama panggilan Dewi Lestari) hadir sebagai sosok sentral, justru tidak banyak mendapat tempat di film ini. –Fokus Rizal terletak pada cinta segitiga Ferre, Rana dan Arwin.– Tersebab itu tadi, seperti yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, pelafalan Paula tidaklah nyaman untuk saya dengar.

sinopsis-film-supernova

Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh berkisah mengenai pasangan gay Dhimas dan Ruben (diperankan dengan baik oleh Hamish Daud dan Arifin Putra) yang berencana untuk menuntaskan ikrar mereka, membuat karya bersama yang fenomenal, dalam bentuk roman yang diberi judul Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Pararel dengan hal tersebut, dalam kehidupan nyata, sebuah cinta terlarang terjalin antara Ferre (Herjunot Ali) dan Rana (Raline Shah); yang sebenarnya sudah memili sosok suami ideal, Arwin (diperankan oleh Fedi Nuril). Tokoh ketiga, Bintang Jatuh, dihadirkan oleh peragawati terkenal bernama Diva, yang kita tahu bahwa profesi utamanya sebenarnya adalah sebagai pelacur kelas atas. Tanpa ada yang bisa mengantisipasi, kehadiran sosok bernama Supernova menjadi kunci penentu yang akhirnya merajut kehidupan nyata antara Ferre-Rana-Arwin dengan kisah fiksi karya Dhimas-Ruben dalam satu dimensi kehidupan yang sama.

Secara umum saya sebenarnya merasa nyaman dengan film ini. Benang merah yang diambil dari buku masih terasa ketika dituangkan Rizal ke dalam bentuk visual. Terlebih ketika Rizal menambahkan pseudo di depan kata Jakarta sebagai membentuk setting ceritanya. Sebuah istilah yang baru saya dengar, dan akhirnya pelajari dan mencari artinya usai menonton film ini. Suatu istilah yang memungkinkan Rizal bermain-main dengan segala efek dan sinematografi yang menawan. Pemandangan cantik nan mewah dari puncak kantor Ferre, kupu-kupu putih yang bertebaran, adegan kemesraan Ferre dan Rana di atas kapal, berpelukan di vila, setting di dalam restoran, semuanya serba gigantik dan penuh warna. Keren. Bahkan puncaknya, Rizal pun sukses melukiskan kepedihan Ferre saat ditinggal Rana untuk kembali kepada suaminya. Dengan pistol yang di tangan yang ditembakkan tepat ke arah mata ketiganya, Ferre pun tergelepar dan tersedot ke dalam tanah seperti masuk ke dalam sumur tak berdasar. Luar biasa!

Tapi sekali lagi, dalam sebuah film yang diharapkan oleh penonton yang pembaca adalah, bahwa para sineas (sutradara dan penulis skenario) mampu melompat melebihi teks. Ada keberanian Rizal dan timnya untuk bermanuver melampaui teks Supernova itu sendiri. Dan tampaknya itu tidak terjadi. Pada Supernova: Ksatira, Putri dan Bintang Jatuh, para sineas tampaknya ingin terlihat setia pada novel. Kesetiaan itu ditunjukkan dengan mengambil dialog-dialog sesuai dengan teks dalam novel, bukan pada strategi plot. Padahal, dialog dalam sebuah buku akan selalu berbeda rasa ketika diucapkan. Kita akan (dan pasti) jengah dengan gaya berpacaran Ferre dan Rana yang penuh pertanyaan filsafat. Seandainya itu di dunia nyata, adakah yang tak jenuh dengan gaya pacaran ala mereka?

Menyoal keberanian, bagi saya, justru “keberanian” yang tampak konyol dan menyesatkan itu justru hadir di akhir cerita. Saat adegan flashback Rana mengingat kembali rentetan kisah hidupnya yang membuat ia memutuskan, memilih Arwin sebagai pasangan hidupnya. Rana seakan tidak rela untuk kembali bersama Arwin, dan meninggalkan Ferre. Padahal di buku kan tidak seperti itu? Atau ketika Diva pindah rumah dan meninggalkan Supernova untuk dikelola oleh Ferre. Kok malah Diva jadi tetangga Rana-Arwin? Seakan mereka adalah target Diva berikutnya. Aneh. Padahal di dalam novel, di titik akhir tersebut, Diva kan memutuskan untuk memulai petualangannya ke jantung Amazon, mengikuti jejak Gio. Sesuatu yang menjadi sempurna bila adegan tersebut hanya ditutup dengan Diva yang mengetik di sisi danau.

Tuh kan, lagi-lagi saya terbebani novel?! J

Tapi kembali lagi, terlepas dari segala kekurangannya, terlepas dari segala sesuatu yang kurang sreg dan tidak saya suka pada film ini, saya perlu menegaskan bahwa Rizal dan timnya telah berhasil mewujudkan visualisasi dari novel Dee yang kompleks ini. Sebuah pencapaian yang patut diaprisiasi. Sebuah tonggak bagi sejarah science fiction movie di Indonesia.

*) Stebby Julionatan tinggal di Probolinggo, Jawa Timur. Pendiri Komunitas Menulis (Komunlis) dan aktif berkegiatan di Komunitas Sae Sanget Indonesia (KSSI). Ia bisa disapa melalui akun emailnya di sjulionatan@yahoo.com, FB: Stebby Julionatan atau twitternya @sjulionatan.

3 thoughts on “SUPERNOVA, VISUALISASI RIZAL DAN BEBAN TEKS”

Leave a comment