bahasa, buku

UPAYA MENDATANGKAN HUJAN DI MUSIM YANG TAK TENTU


Judul Buku : Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini
Penulis Buku : Wina Bojonegoro, dkk.
Editor : Aulia Muhammad
Penerbit : Padmedia
Cetakan : Pertama, November 2020
Ketebalan : x + 178 halaman
ISBN : 978-602-50800-9-8

Peresensi : Stebby Julionatan*)

Di tangan alam, hujan bisa menjadi apapun. Sedikitnya saya mencatat 3 hal sederhana yang dapat dilakukan (baca: manfaat) hujan. Pertama, air hujan jatuh dan langsung terserap tanah menyegarkan daun-daun. Kedua, yang mengumpul dan tak terserap tanah akan menjadi oase bagi hewan-hewan yang kehausan. Atau, yang ketiga, bagi kita yang tengah galau atau bersedih hati, ia akan menjadi sahabat dan mengganti air mata kita. 

Di tangan penulis, hujan –dengan segala kekuatannya, bisa menjelma apa saja. Kita tentu sangat mengingat puisi Sapardi Djoko Damono, “Hujan Bulan Juni” dan bagaimana puisi tersebut dialihwahanakan dalam bentuk-bentuk lain, mulai dari musikalisasi puisi, novel, hingga film. Hingga aliran ‘hujan’ Sapardi tak berhenti di rintik puisi saja, tapi menetes deras, terduplikasi, menguat, mengekal, sekaligus kembali ‘mengalir’ hingga mendapat bentuk-bentuk terkininya.

bahasa, budaya, penghargaan, politik, psikologi, renungan, sejarah, seks, spiritualitas

Mencumbu Terra Incognita


Oleh: Stebby Julionatan *)

 

PADA 17 Juni 2019, wali kota Probolinggo menggagalkan rencana Komunlis (Komunitas Menulis) untuk menggelar nobar film Kucumbu Tubuh Indahku (KTI). Alasannya, banyak aksi penolakan di daerah lain pada film ini yang ditakutkan akan berimbas serupa ketika nanti diputar di Probolinggo.

Isu-isu penolakan kaum agamawan dan fundamentalis yang berimbas pada penyerangan tempat-tempat publik adalah yang paling ditakutkan. Karena praktis, sejak penayangannya secara nasional, isu-isu LGBT menguak. Film itu pun dianggap sebagai bentuk dukungan atas orientasi seksual yang menyimpang.

Pada 17 Desember 2019, perjalanan Kucumbu Tubuh Indahku (KTI) untuk mewakili Indonesia pada perhelatan Oscar terhenti. Hal ini diumumkan oleh Fourcolours, produser film tersebut, dalam pernyataan resminya melalui akun Instagram. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah mendukung KTI dalam ajang Academy Awards Ke-92.

Di samping tanggal yang kebetulan sama (tujuh belas), ada satu fenomena yang dapat kita cermati dari dua peristiwa tersebut. Yakni, berkat keterwakilannya di Oscar, beberapa bioskop di daerah yang semula takut mulai longgar untuk kembali memutar KTI. Orang-orang pun, yang semula membenci dan terkungkung oleh dogma pelarangan kepala daerah, jadi penasaran dan malah berbondong-bondong untuk menyaksikan film unggulan Indonesia di ajang internasional tersebut. Hal tersebut menjadi bukti bahwa selama ini ada ketakutan publik yang tak beralasan terhadap sang ’’liyan’’.

Saya jadi ingat pidato kawan saya, Royyan Julian, saat dia diundang dalam acara perayaan Natal kemarin di jemaat GPIB ’’Mahkota Hayat’’ Pamekasan. Royyan yang saat itu mewakili umat muslim dan Gusdurian berkata bahwa kehidupan gereja bagi dirinya dan warga Pamekasan secara umum adalah terra incognita, daerah yang tak dikenal. Daerah yang mengundang tanya, penasaran, sekaligus rasa takut untuk dimasuki.

Mungkin seperti itu jugalah kehidupan Juno dalam KTI. Ia memunculkan rasa penasaran sekaligus ketakutan publik yang berujung pada prasangka dan kebencian –bahkan tanpa menonton filmnya terlebih dahulu secara utuh.

Kisah pencarian jati diri Juno yang diangkat secara apik oleh sutradara Garin Nugroho dari kisah seniman lengger lanang asal Banyumas, Rianto, sejatinya adalah hal yang juga lumrah terjadi di masyarakat. Terlebih jika kita memperbincangkannya dalam konteks budaya dan kesenian. Hal-hal seperti pertukaran peran pria dan wanita atau tampil di panggung tidak sesuai dengan identitas seksual yang melekat adalah hal yang membuat kesenian tradisional (misalnya ludruk) di desa-desa, khususnya di tempat saya bermukim, jadi ramai untuk dinikmati. Di periode ’90-an mungkin kita bisa mengingat kepopuleran Tessy dalam grup Srimulat.

Heti Palestina Yunani dalam esainya yang berjudul Kemenangan Tubuh yang Trauma (Jawa Pos, 15 Desember 2019) mengatakan bahwa kemenangan Garin (di FFI 2019 yang juga mengantarnya mewakili Indonesia pada ajang Oscar di tahun yang sama) pada perjalanan ketubuhan Rianto yang feminin sekaligus maskulin tersebut sejatinya adalah kemenangan ide. Tentang bagaimana kebudayaan itu lahir dari bentukan sosial, pengaruh, dan paparan paham politik yang membentuknya.

Lebih lanjut Heti mengatakan bahwa sejatinya KTI adalah gambaran proses pembelajaran Rianto tentang bagaimana memandang tubuh agar bisa lepas dari trauma.

’’Masyarakat perlu belajar setidaknya tak mengatakan hal yang buruk atau persepsi negatif tentang lelaki yang menari dalam pakaian perempuan.’’ Demikian ungkap Rianto. Sebab, pakaian penari saat tampil bukan sesuatu yang baru di Indonesia, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang dalam kebudayaan Indonesia.

Pengalaman yang sama (baca: ketakutan yang tak beralasan pada sosok liyan) saya alami saat menerbitkan novel Rumah Ilalang. Novel itu berkonsep soal kasih. Soal autokritik saya mengenai ketidakpedulian umat Kristen kepada mereka yang meninggal tanpa membayar iuran diakonia. Tapi, pembicaraan di setiap acara bedah buku yang digelar selalu berkutat pada seksualitas tokoh waria yang saya hadirkan, Tabita.

Sehingga penting bagi saya, sebelum menjelaskan dasar pemikiran, selalu meminta maaf kepada para peserta diskusi ketika nanti saya menjelaskan berdasar studi keilmuan dan empiris. Yang berarti tidak akan melegakan rasa penasaran mereka, alih-alih mengurangi rasa takut terhadap LGBT.

Saya rasa ketakutan ini beralasan. Saya pribadi menengarai bahwa sejak kasus pencabulan yang dilakukan oleh pedangdut Saiful Jamil, narasi bahwa homo adalah perusak generasi bangsa semakin santer. Masyarakat takut jika hal tersebut akan menimpa diri atau orang yang mereka cintai. Hingga kita mengenal istilah homofobia. Rasa takut terhadap mereka yang ditengarai homo.

Terlebih saat para pelaku pencabulan itu ditangkap, mereka senantiasa berdalih bahwa penyimpangan yang mereka alami diakibatkan oleh pengalaman masa kecil yang serupa. Maka, bergulirlah rantai setan fobia itu tanpa pemahaman lebih untuk memutusnya.

Berbincang soal yang liyan, di akhir 2019 ini saya diundang untuk mengisi beberapa acara literasi di Madura. Salah satunya di radio Ralita FM. Ada pengalaman menarik terkait kaum liyan yang terjadi saat saya diwawancarai meski hal tersebut terjadi secara off air. Sang penyiar berkata bahwa ia sempat melempar buku saya dan tak ingin melanjutkan membaca saat saya berkisah secara gamblang perihal kehidupan seksual tokoh saya yang waria itu. Ia berkata bahwa, ’’Mungkin saya sama seperti Hanung (tokoh ayah Tabita dalam novel Rumah Ilalang). Saya bisa menerima jika hal tersebut (baca: LGBT) terjadi di luar lingkungan saya. Tapi, saya tidak bisa menerima jika hal tersebut terjadi pada keluarga saya sendiri. Anak saya.’’

Ya, seperti yang saya jelaskan di awal, banyak orang percaya pada alasan orang-orang seperti Saiful Jamil yang ditangkap karena melakukan pelecehan seksual. Tapi, mereka tak pernah mau membaca atau menambah keilmuan mereka bahwa menjadi gay bukan karena Anda hidup di lingkungan yang banyak gay atau pernah dilecehkan secara seksual di dalamnya. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas akan hal tersebut. Bahkan, penelitian telah membuktikan bahwa ’’gay’’ adalah kode genetik yang telah tertulis dalam susunan DNA tubuh kita.

Biarlah pengalaman empiris saya yang menguatkannya. Saya pun pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ’’paman’’ saya saat saya SMA. Saat saya belum genap berusia 17 tahun. Tapi, hal tersebut tak lantas menjadikan saya seorang pedofil dan gemar mengumbar nafsu seksualnya. Menjadi gay pemangsa para lelaki.

Jadi, kenapa kita harus takut pada kisah Juno? Saya justru sepakat apa yang dikatakan oleh Whany Darmawan, si pemeran warok dalam KTI. Ia mengatakan bahwa beberapa orang membuat film sebagai alat hiburan, tapi apakah salah jika film digunakan sebagai potret sebenarnya bagi masyarakat yang tengah sakit? Masyarakat yang tidak mampu menerima perbedaan antara tubuh dan orientasi seksual? (*)


*) Stebby Julionatan, penyair, novelis, cerpenis, dan penggiat literasi dari Probolinggo

 

Tulisan ini dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 29 Desember 2019.

bahasa, berita, budaya, cinta, cinta tanah air, kehidupan, keseharian, kesehatan, lingkungan hidup, motivasi, pendidikan, penghargaan, renungan, sastra, seni

WAHYUDI DAN DESA YANG TAK MEMPUNYAI MALAM


“Desa yang Tak Mempunyai Malam” demikianlah Wahyudi Bahtiar menyebut desanya. Desa yang ia maksud adalah Tigasan Wetan, yang terletak di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo. Ia memberi julukan demikian karena masyarakat desanya, yang di siang hari umumnya bekerja di ladang atau buruh bangunan, banyak yang memelihara ternak, sehingga kalau malam harus tetap berjaga untuk mengamankan sapi atau kambingnya dari pencurian hewan. Sungguh kasihan, bukan?

29177737_1985088528424679_8215439486678045971_n

Tapi sekarang, kata Wahyudi sih, sudah mulai aman. Warga di desanya sudah dapat menikmati istirahat di malam hari. Oleh karena itu, pemuda yang mengaku lahir saat rutuhnya pemerintahan Orde Baru namun tidak merasakan dampak kerusuhan 1998 ini mengaku ingin menceritakan segala keunikan dan kelebihan desanya, dan Probolinggo.

Ia tak ingin orang lain mengenal desanya sebagai daerah yang ramah terhadap pencurian ternak, begal, atau bahkan carok. “Probolinggo masih mempunyai banyak kelebihan, semua harus tahu itu,” katanya.

Continue reading “WAHYUDI DAN DESA YANG TAK MEMPUNYAI MALAM”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, hobby, kemanusiaan, keseharian, lingkungan hidup, motivasi, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, seni

SHENOBI MIKAEL: TERJUN MENJADI PEKERJA SENI ADALAH BELAJAR TENTANG SENI BERSINERGI


Meski tanpa TOA suaranya sudah terdengar menggelegar, gayanya preman… jadi, ummm, tak ada tuh istilah “pelecehan seksual” yang dialami m(B)ak ini, belum lagi kalau sudah datang ke sebuah acara bersama asisten pribadinya, (e)L, hmmmm… Prolink pastikan libas abis tuh acara. Hahahaha.

Kalau nggak percaya, silahkan undang sendiri. 😀

Pemilik nama asli super-panjang yang lebih baik ditulis Novita Sutanto saja ini lebih dikenal sebagai Shenobi Mikael atau Nobhi. Dan… sebelum libur mudik lebaran kemarin, Prolink sempatkan untuk mencegatnya di jalan sekitar Subertaman – Jorongan, untuk menyodorinya beberapa pertanyaan yang wajib ia jawab. Hahahaha.

Dan berikut adalah jawabannya yang dicoret-coret asal begitu saja di balik kertas struk pembelanjaan Indomaret~

WhatsApp Image 2019-06-10 at 19.23.00.jpeg
KOPI: Rupanya Nobhi juga seorang penggemar kopi~

Continue reading “SHENOBI MIKAEL: TERJUN MENJADI PEKERJA SENI ADALAH BELAJAR TENTANG SENI BERSINERGI”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, hobby, keseharian, motivasi, pendidikan, penghargaan, sastra

Titis Putri Pamungkas: Jangan Hakimi Diri Sendiri Atas Keberhasilan Orang Lain


Probolinggo bagi seorang Titis Putri Pamungkas adalah sorga kecil di Jawa Timur. Pesona keindahannya tidak kalah dari daerah lain, serunya. Tapi sayang, masih banyak yang belum mengenal Probolinggo. Ia merasa, mutiara terpendam itu tidak akan diketahui khalayak jika tidak ada publikasi. Nah, itulah alasan alumnus SMAN 1 Kraksaan ini untuk mengeksplorasi Probolinggo lewat tulisan.

WhatsApp Image 2019-06-10 at 11.10.05
Panorama Pantai Bentar dilihat dari Bukit Bintang~

Kepingan Masa (Kumpulan Prosa Perihal Kisah SMA) adalah karya perdananya. Lewat buku tersebut, penulis muda kelahiran Probolinggo, 29 September 2000 ini membagikan kenangannya selama menempuh sekolah lanjutan atas tersebut dalam beentuk puisi. Saat menjadi pelajar dahulu, ia merasa belajar adalah tugas utamanya; dan berkarya baginya adalah panggilan hidup. Ia menyelasarkan keduanya.

Akhir Ramadhan kemarin (3 Juni 2019), Problink bertemu dengan Titis di salah satu rumah makan ternama di Kota Probolinggo. Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, kami mewawancarainya. Dan beritkut, adalah hasil wawancara kami~

Continue reading “Titis Putri Pamungkas: Jangan Hakimi Diri Sendiri Atas Keberhasilan Orang Lain”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, keseharian, pariwisata, penghargaan, sastra, sejarah, spiritualitas

‘Di Kota Tuhan’ Seeing Probolinggo Through Biblical Lens


Published in The Jakarta Post, Sunday, May 5, 2019. And writen by Nedi Putra AW, as Contributor

.

2019_05_05_71413_1556994535._large
Faith: Poet Stebby Julionatan combines biblical narrative and memories of his hometown, Probolinggo, in his latest poetry collection.

Stebby Julionatan shares melancholic tales about his hometown of Probolinggo, East Jawa in his latest poetry collection, titled Di Kota Tuhan, Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah (In the City of God, I am the Body that You Break Into Pieces).

“It is my mission to introduce Probolinggo to the public,” the 35-years-old poet said.

Stebby intriguingly writes his poem in biblical frameworks. The 33 poems in the book are divided into two ‘exegeses”. The first, set from September 2015 to May 2016, take the narrative from of Genesis. In the second exegesis, Psalms narrative is used to convey the events between May and September 2017.

Continue reading “‘Di Kota Tuhan’ Seeing Probolinggo Through Biblical Lens”

bahasa, budaya, cinta, kemanusiaan, keseharian, pariwisata, penghargaan, renungan, sastra, seni, spiritualitas

KENANGAN PENYAIR DAN SEJARAH KOTA


 Wahyu Kris AW
Kepala Sekolah SMPK Pamerdi Kebonagung
Bergiat di Kampung Pentigraf Indonesia

Judul                             : Di Kota Tuhan
Penulis                         : Stebby Julionatan
Penerbit                       : Indie Book Corner (Jogjakarta)
Tahun terbit               : Cetakan pertama, 2018
Tebal                            : 130 halaman
ISBN                             : 978-602-309-333-5

Stebby Julionatan - Di Kota Tuhan Radar Malang
RESENSI: Kata Mas Wahyu, resensi ini istimewa karena mengajak dirinya menyusuri karya penyair-penyair keren lainnya, al. Yusri Fajar, Tengsoe Tjahyono, Dhofir Zuhri dan Sosiawan Leak

 

Nyai, kau pikir hubungan penyair dengan puisi/sama dengan wahyu dengan nabi?

Larik di atas adalah kutipan kumpulan sajak Orgasme yang ditulis Gus Dhofir, santri-penulis yang menggagas filsafat Mazhab Kepanjen. Hubungan penyair dengan puisi barangkali memang diikhtiarkan untuk menjadi misteri sekaligus abadi. Apalagi jika diikat dan dikaitkan dengan ruang-waktu bernama kota.

Sebagai mahkluk yang menyejarah, kehadiran penyair sebagai manusia pada ruang-waktu kota, niscaya membentuk garis ruang-waktu yang saling berpotongan. Garis potong itulah yang kerap menjelma puisi. Pendeknya, puisi menyediakan ruang-waktu bagi penyair dan kota untuk hadir serta menyejarah bersama.

Continue reading “KENANGAN PENYAIR DAN SEJARAH KOTA”

bahasa, budaya, buku, cinta, penghargaan, politik, renungan, sastra, sejarah, seni, spiritualitas

Di Kota Tuhan: Kota dan Yang Alkitabiah


oleh Mario F. Lawi

Di Kota Tuhan: Kota dan Yang AlkitabiahDi Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah

Para penyair punya cara tersendiri menampilkan kenangan akan kota dalam puisinya. Stebby Julionatan membarenginya dengan khazanah biblikalnya. Apakah ia berhasil melakukannya? Perbandingan dilakukan oleh Mario F. Lawi untuk menelusuri tradisi penulisan puisi tentang kenangan, kota, dan yang alkitabiah.

I primi cristiani
si riconoscevano nelle catacombe
con il segno segreto
del Pesce
e come pesci moribondi noi
siamo uniti solo dalla Rete

Para Kristen Perdana
saling mengenal dalam katakombe
melalui tanda rahasia
Ikan
dan ibarat ikan-ikan sekarat
hanya oleh Jala kita dipersatukan.

Salah satu puisi Michele Mari dalam buku puisi Cento poesie d’amore a Ladyhawke (Seratus Puisi Cinta untuk Ladyhawke) yang saya kutip di atas menggunakan rujukan perumpamaan biblikal untuk menyatakan hubungan antara sepasang kekasih sebagai sepasang ikan sekarat yang hanya dapat dipersatukan oleh jala. Ichthys, dalam Yunani Koine yang berarti ‘ikan’, digunakan juga sebagai akronim dari Iesous Christos Theou Yios Soter atau “Yesus Kristus, Putra Allah, Penyelamat.” Ikan adalah metafora yang merujuk pada peristiwa Alkitab, terutama tradisi Perjanjian Baru, justru karena murid-murid perdana Yesus adalah para nelayan. Para rasul juga diminta Yesus untuk “menjadi penjala manusia” (Matius 4:19; Markus 1:17). Meski ditulis secara ringkas, puisi di atas, bagi saya, adalah puisi alkitabiah.

Saya tertarik mengemukakan contoh yang saya cuplik dari buku puisi pertama Michele Mari yang memenangkan tiga penghargaan sastra di Italia itu untuk melihat bagaimana narasi dari teks-teks Alkitab diterjemahkan Stebby Julionatan dalam buku puisinya Di Kota Tuhan. Kesan bahwa buku puisi Di Kota Tuhan adalah buku puisi alkitabiah saya peroleh dari ulasan Jessica Karsten yang dipublikasikan di situs Kibul.in dengan judul “Sebuah Kenangan di Kota Tuhan”. Ulasan itu saya baca lebih dahulu daripada bukunya sendiri. Menurut Jessica, Di Kota Tuhan “ditulis dalam bentuk rangkaian pasal dan ayat sebagaimana Kitab Kejadian dan Mazmur. … Midrash Pertama mengambil bentuk Kitab Kejadian sebagai teknik penulisannya sedangkan Midrash Kedua menggunakan bentuk Kitab Mazmur.” Selain klaim tersebut, Jessica juga membandingkan buku tersebut dengan buku puisi Stebby sebelumnya, Biru Magenta. Tepat pada paragraf pertama tulisannya, Jessica menulis, “Jika Biru Magenta bercerita soal kasih Eros, maka kali ini Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah mengangkat tema tentang kasih Agape.”

Eros dan Agape adalah dua kata untuk menyatakan cinta dalam bentuk berbeda. Eros adalah cinta berdasarkan ketertarikan seksual, sedangkan Agape sering digunakan untuk menyatakan cinta tanpa batas, dan dalam khazanah Kristiani ditunjukkan oleh Allah kepada umat manusia melalui peristiwa penebusan Kristus. Bentuk oksimoronik dua jenis cinta ini dapat kita temukan dalam karya Dante Alighieri, Divina Commedia. Cinta Beatrice kepada Dante dapat dikategorikan sebagai Agape, sedangkan cinta Paolo Malatesta kepada Francesca da Rimini dalam salah satu fragmen paling terkenal dari bagian Inferno (canto V) adalah cinta Eros. Cinta Agape memungkinkan Beatrice meminta Vergilius menuntun Dante hingga lapisan atas Purgatorio agar sang pengembara selamat hingga bertemu penuntun selanjutnya yang akan mempertemukannya dengan Beatrice. Sebaliknya, cinta Eros antara Paolo dan Francesca membuat mereka dihukum di lapisan kedua neraka.

Perlu kita tahu, Biru Magenta (2015) adalah buku puisi kolaboratif antara Stebby dan Ratna Satyavati. Saya membayangkan masing-masing bagian, Biru dan Magenta, dalam buku tersebut, adalah dialog puitik antara Stebby dan Ratna. Mayoritas puisi-puisi di dalamnya bercorak naratif, dengan satuan kalimat yang lengkap dan alur yang jelas, berisi dialog dua tokoh kasmaran. Tidak salah jika Jessica menganggapnya bercerita soal kasih Eros karena dari awal hingga akhir buku puisi, kita membaca dua tokoh jatuh cinta tersebut saling berbalas rayuan. Meski demikian, menurut saya, Di Kota Tuhan, buku puisi Stebby selanjutnya, masih berada pada koridor tema Eros ini. Perbedaan yang mencolok dari Di Kota Tuhan dan Biru Magenta adalah bahwa cinta erotik sang tokoh dalam Di Kota Tuhan diperluas pembahasannya. Aku-lirik, si Biru, tidak hanya mengungkapkan cintanya secara personal kepada si Rabu, tetapi juga memperluas cakupannya untuk berbicara tentang kota dan kenangan.

Tema kota dan kenangan bukannya tidak pernah disinggung Stebby di buku sebelumnya. Dalam puisi berjudul “Perjalanan Berdua”, bisa kita baca cakupan tematik tersebut. Saya kutip bait pertamanya:

“Ingatku pada Solo adalah perjalanan berdua denganmu/melewati Gladak, sarapan timlo di depan Pasar Gedhe,/melalui Katedral, Balai Kota, dan Bank Indonesia/lalu mobil RRI melintas di depan kita.//”

Namun, puisi semacam itu hanya satu dari sekian banyak puisi Stebby dan Ratna dalam Biru Magenta. Dalam Di Kota Tuhan, semua puisi dalam “Midrash I” mengeksplorasi hubungan kota dan kenangan. Ada cuplikan sejarah kota Probolinggo dalam puisi “Biru Mengenalkan Rabu pada Kotanya”, ada nama tempat spesifik tertentu dalam kota jadi judul puisi dalam “Di Sumber Hidup, Biru Melihat Tuhannya Bercabang.” Nama-nama lokasi dalam kota dan kejadian-kejadian seputar kota menghiasi puisi-puisi yang ada di bagian “Midrash I”.

Kota, Kenangan, dan Persoalan tentang Yang Alkitabiah

Hal yang mengingatkan seseorang akan kota-kota yang pernah dikunjunginya adalah kenangannya akan kota-kota tersebut. Maka, kita temukan Di Kota Tuhan dibuka dengan puisi berjudul “Di Pertemuan Keempat, Biru Mengajak Rabu Menyusuri Kenangan”.“Aku akan menyusur kembali kenangan, jalanan kecil yang mendekati rumah. Jembatan kayu yang hampir menewaskanku saat merangkak.” Demikian bait pembuka puisi tersebut saya kutip lengkap.

Kita ingat, Calvino membuka Le città invisibili (Kota-Kota Imajiner) dengan kisah berjudul “Kota dan Ingatan” dan membangun seluruh narasi dalam novel tersebut dengan mengandalkan ingatan tokoh Marco Polo terhadap kota-kota yang pernah disinggahinya. Menemukan kota, dalam khazanah literatur yang lebih tua, adalah misi yang sakral. Epik Aeneis dari Vergilius, misalnya, dengan jelas menunjukkannya. Aeneas adalah prajurit Troya yang tersingkir setelah kotanya dihancurkan orang-orang Yunani dan demi misi membangun bangsa Roma, ia tinggalkan Dido sang putri Carthago. “Tantae molis erat Romanam condere gentem”, bunyi salah satu baris dalam Aeneis (buku 1, baris 33), “Begitu berat usaha membangun bangsa Roma.”

Kota dalam Di Kota Tuhan bukanlah kota-kota imajiner seperti kota-kota dalam cerita Marco Polo bagi Kublai Khan. Kota dalam Di Kota Tuhan adalah kota historis, seperti Roma yang dibangun Aeneas. Maka, sepanjang bagian pertama Di Kota Tuhan, kita diajak berkeliling kota Probolinggo, referensi utama Stebby dalam menulis bagian pertama buku puisinya, lengkap dengan foto-foto sejumlah tempat di kota tersebut.

Lantas, untuk klaim pertama, apakah Di Kota Tuhanadalah buku puisi alkitabiah? Jawabannya tentu saja tidak. Jika klaim tersebut didasarkan atas penomoran klausa dan kalimat tertentu sehingga menyerupai penomoran pasal dan ayat-ayat dalam Alkitab, hal tersebut bisa langsung kita tolak sebagai indikator utama. Penomoran klausa dan kalimat tertentu sebagai pasal dan ayat bukan cuma ada dalam wilayah otoritas Alkitab. Alasan paling pertama untuk ini justru mungkin sederhana: agar kita mampu mengingat wilayah-wilayah bacaan berdasarkan pembagian nomor tersebut, atau memberi catatan tambahan berdasarkan penomoran tersebut.

Ketika kita membaca pembuka Injil Yohanes, “Pada mulanya adalah Sabda,” misalnya, kita akan melihat ayat pembanding ditampilkan untuk membawa kita pada pembukaan Kitab Kejadian yang modusnya hampir serupa. Prosa-prosa Dante Alighieri, contoh lain, entah yang ditulis dalam bahasa vulgar maupun dalam bahasa Latin, diberi penomoran oleh para sarjana pengkajinya agar lebih mudah dirujuk dan diberi catatan tambahan. Sebelum Di Kota Tuhan, strategi menggunakan penomoran untuk menandai satuan kalimat juga digunakan Asef Saeful Anwar dalam novelnya Alkudus. Jika mau melihat kesan alkitabiah pada buku puisi Di Kota Tuhan, saya justru tertarik terhadap pengaitan sejumlah peristiwa dan tokoh dalam Alkitab, entah dari Perjanjian Lama maupun dari Perjanjian Baru, dengan persoalan-persoalan harian yang ditampilkan dalam puisi-puisi di buku ini, meskipun tidak banyak ditampilkan. Frasa-frasa dan situasi-situasi dari narasi Alkitab kadang menyela di antara aliran puisi, kadang hadir sebagai alusi untuk memperkuat struktur dan gaya ungkap puisi, kadang sebagai metafora karena secara gamblang ditampilkan Stebby di beberapa bagian puisi.

Puisi Michele Mari yang saya kutip sebagai pembuka tulisan adalah apa yang saya maksud dengan puisi alkitabiah. Ada referensi narasi Alkitab yang jelas ketika kita ingin membandingkan asosiasi dan metafora yang digunakan dalam puisi tersebut. Paradise Lost dan Paradise Regained dari John Milton, sebagai contoh lain, juga dapat kita sebut sebagai puisi epik alkitabiah. Kekalahan Satan dalam narasi pembuka Paradise Lost dapat kita rujuk ke Kitab Wahyu, kitab terakhir dalam Perjanjian Baru, sedangkan kejatuhan manusia dan dosa asal dalam puisi epik yang sama, dapat kita rujuk ke Kitab Kejadian, kitab pertama dalam Perjanjian Lama. Surga yang hilang dan pencarian yang terus-menerus dalam narasi Perjanjian Lama dilengkapi Milton dengan Paradise Regained. Pencobaan Kristus di padang gurun, adegan vital dalam Paradise Regained, langsung dapat kita rujuk ke kisah yang sama dalam ketiga Injil Sinoptik Perjanjian Baru.

Benar bahwa ada sedikit cuplikan kalimat dari Alkitab dan sejumlah asosiasi dan metafora yang makna referensialnya membawa kita ke sana, tetapi bangunan utama buku puisi Di Kota Tuhan adalah narasi personal tentang cinta antarpersona dan kisah tentang kota Probolinggo. (Kita bahkan bisa menemukan narasi sejarah tentang kota digunakan sebagai referensi oleh Stebby dalam puisi berjudul “Biru Mengenalkan Rabu pada Kotanya” dan sejumlah referensi tempat yang dapat kita temukan di Probolinggo hari ini lengkap dengan foto-foto!)

Dua Buku Puisi tentang Kota

Selain Di Kota Tuhan, ada buku lain yang juga membicarakan kota: Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? karya Kiki Sulistyo yang meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Karena rentang waktu terbit kedua buku tersebut tidak berbeda jauh, menarik untuk membandingkan dua karya tersebut, selain juga karena setidaknya tiga hal yang berbeda secara mencolok: strategi pengungkapan, posisionalitas penyair dan perwajahan buku.

Dari sisi strategi pengungkapan, meski sama-sama bercerita soal tempat tinggal dan kota asal, keduanya menggunakan cara berbeda. Puisi-puisi dalam Di Ampenan adalah puisi lirik, sedangkan Di Kota Tuhan bisa dibilang sebagai buku yang berisi puisi-puisi naratif, bahkan dalam bagian-bagian yang dipenggal larik demi larik (seperti puisi-puisi di bagian “Midrash II”). Hal ini bisa dilihat dari sejarah proses kreatif. Kiki adalah salah satu penyair Indonesia yang betul-betul memperhatikan detail unsur bunyi dan musikalitas dalam puisi-puisinya; aliterasi, asonansi, serta rima-rima luar yang susul-menyusul, bahkan antara dua kata berdekatan. Sementara jejak-jejakDi Kota Tuhan yang naratif bisa kita telusuri di buku sebelumnya, Biru Magenta; meski dilakukan pembaitan, kalimat-kalimatnya sering berdiri sempurna, dan bagian antar-bait serta antar-larik sering kali dihubungkan dengan kata-kata penghubung, hal-hal yang lazim kita temukan dalam prosa.

Dari sisi posisionalitas kedua penyair, atau pengungkapan pengalaman pribadi kedua penyair, kita melihat dua upaya berbeda dalam memandang kota. Stebby berada pada posisi seorang warga kota yang ingin memperkenalkan kotanya tidak hanya sebagai khazanah personalnya, tetapi juga sebagai suatu keadaan historis, lengkap dengan foto. Kota dalam Di Kota Tuhan adalah kota yang ingin didekatkan justru karena si penyair ingin para pembacanya turut melihat kota itu sebagaimana dialami si penyair, meski tentu saja pembaca selalu memiliki hak prerogatif. Kiki sebaliknya. Meski pada bagian pengantar Di Ampenan Kiki menulis, “Saya tidak ingin melihat Ampenan dengan mata kedua, seolah-olah pengalaman nostalgik saya menjadi pengalaman orang lain, seolah-olah saya yang sekarang bukan saya yang dulu dalam konteks relasi dengan Ampenan. Saya ingin menyatukan diri saya yang sekarang dengan diri saya yang dulu, dengan segala keterpecahannya. Sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi di luar puisi. Seperti ketidakmungkinan Ampenan yang sekarang—dengan perubahannya yang menyedihkan-menjadi Ampenan yang dulu” (hlm. 7), kita melihat adanya keberjarakan si penyair dengan kota yang dipuisikannya. Kiki mungkin menampik Ampenan sebagai bayangan idealnya terhadap masa lalu melalui paragraf pengantar semacam itu, tetapi jelas dalam hal ini Ampenan bagi Kiki jauh lebih berjarak daripada Probolinggo bagi Stebby, sehingga meski Kiki menulis sejumlah puisi yang sifatnya autobiografis, misalnya “kenangan pada bapakku”, sulit bagi pembaca untuk meletakkan itu sebagai semata hal personal yang dimiliki Kiki.

Foto-foto dalam buku puisi Di Kota Tuhan memaksa kita mengalami Probolinggo tidak hanya secara tekstual, tetapi juga secara visual, hal yang tidak kita temukan dalam buku puisi Di Ampenan. Akan tetapi, justru di situlah letak salah satu kritik saya terhadap buku Di Kota Tuhan. Imajinasi kita tentang Probolinggo agaknya memang bersandar pada referensi kota Probolinggo sebagai realitas, tapi karena itulah keberadaan foto-foto pendukung terasa berlebihan. Penataan foto, di banyak bagian, juga mengganggu tata letak puisi. Penataan foto nyaris mencuri begitu banyak tipografi puisi dan mengesankan buku ini berfungsi lebih sebagai buku foto ketimbang buku puisi. Hal ini terbilang baik secara etnografis dengan maksud memperkenalkan kampung halaman kepada orang luar, misalnya, tapi tanpa proporsi yang seimbang malah berpotensi menjemukan pembaca. Dalam versi cetak yang saya baca, pada banyak bagian, satu foto yang terpisah halaman bahkan tercetak dalam keadaan yang tidak presisif, hal yang sangat disayangkan untuk buku yang juga mengandalkan intimidasi visual semacam buku puisi berfoto. Selain itu, catatan kaki yang idealnya membantu pembaca menemukan referensi, di beberapa bagian malah menyulitkan karena rujukan catatan kaki untuk halaman depan baru dapat kita temukan di halaman sebaliknya. Atau bisa kita baca, dalam konsep Ricœur tentang makna sebagai sense dan reference[1], peletakan catatan kaki dan foto-foto justru menjauhkan makna tekstual puisi karena kita dijejali begitu banyak referensi, hal yang memperkecil munculnya makna tekstual sebagai akibat dari begitu dominannya makna referensial. Jika demikian, apa yang membedakan buku puisi dari catatan etnografi tentang kota?

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembagian nomor-nomor, yang dimaksudkan sebagai semacam ayat, juga tidak proporsional. Dalam sejumlah bagian di buku ini, terutama Midrash I, ada ayat-ayat yang cuma berupa keterangan, dipisahkan satu ayat dari satuan predikatif di depannya, atau satuan di belakangnya. Idealnya, satu nomor merangkum satu kalimat (atau minimal satu satuan predikatif). Ideal ini mengandaikan Di Kota Tuhan memang ingin mencuri pembabakan-pembabakan dari Alkitab agar pengingatan dan pengutipannya lebih mudah. NovelAlkudus adalah contoh yang baik untuk strategi semacam itu. Satuan-satuan kalimat yang ditandai dalam novel tersebut adalah satuan-satuan kalimat sempurna dan tidak membingungkan seandainya dikutip secara terpisah. Ide untuk menampilkan narasi tentang kota adalah tawaran yang menarik, tetapi tanpa kecermatan perhitungan, ia bisa terjebak dalam klise, hal yang justru berusaha kita hindari ketika membaca buku puisi.

 

Judul: Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah
Penulis: Stebby Julionatan
Genre: Puisi
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun terbit: Cetakan pertama, 2018
Dimensi: xiv + 74 hlm; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-602-309-333-5

 

Bacaan
Alighieri, Dante. 1994. La divina commedia. Varese: Edizioni Polaris.
Anwar, Asef Saeful. 2017. Alkudus. Yogyakarta: Basabasi.
Calvino, Italo. 2016. Le città invisibili. Milano: Mondadori.
Julionatan, Stebby & Ratna Satyavati. 2015. Biru Magenta. Probolinggo: Ruang Kosong Publishing.
Julionatan, Stebby. 2018. Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah. Yogyakarta: Indie Book Corner.
Mari, Michele. 2007. Cento poesie d’amore a Ladyhawke. Torino: Giulio Einaudi editore.
Maro, Publius Vergilius. 2009. Aeneis. Berlin: Walter de Gruyter.
Milton, John. 1956. Milton’s Poems. London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Ricœur, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas: Christian University Press.
Sulistyo, Kiki. 2007. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Yogyakarta: Basabasi.

 

 

 

 

bahasa, budaya, buku, cinta tanah air, kehidupan, kemanusiaan, kesehatan, renungan, sastra, spiritualitas

PUISI DIALEKTIS DI KOTA TUHAN


Judul Buku      : Di Kota Tuhan

Penulis             : Stebby Julionatan

Cetakan           : I, September 2018

Tebal               : xiv+74 halaman

ISBN               : 978-602-309-333-5

Peresensi         : Indra Tjahyadi*)

 

Penyair bukanlah seseorang yang tidak peduli dengan lingkungan yang mengitarinya. Penyair bukanlah penyendiri yang tidak peduli dengan dunia sosial yang menjadi arena kehidupannya. Penyair adalah seseorang yang senantiasa bersetia melakukan dialektika dengan apa yang menjadi bagian dari keberadaannya. Penyair adalah ia yang lebur ke dalam dunia.

Inilah, kira-kira, yang ingin disampaikan oleh Julionatan dalam buku kumpulan puisinya Di Kota Tuhan (Indie Book Corner, 2018). Buku ini merupakan buku keempat Julionatan, sekaligus buku bergenre puisi kedua yang diterbitkannya. Namun, berbeda dengan buku puisinya yang berjudul Biru Magenta (2015), dalam buku puisinya yang berisi 43 judul puisi ini, Stebby Julionatan melakukan dialektika yang intens dengan berbagai hal yang mengitarinya. Dialektika tersebut tidak saja pada hal yang bersifat material, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat non-material.

Continue reading “PUISI DIALEKTIS DI KOTA TUHAN”

bahasa, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, pariwisata, pendidikan, penghargaan, renungan, sastra, sejarah, seni

Jalan-jalan Bersama Stebby di Kota Tuhan


Judul               : Di Kota Tuhan : Aku adalah Daging yang Kau Pecah-pecah
Penulis           : Stebby Julionatan
ISBN                : 978-602-3093-33-5
Halaman         : 74 Halaman
Penerbit         : Indie Book Corner Yogyakarta
Tahun terbit  : 2018
Peresensi        : Rosalia Desi*)

stebby - di kota tuhan radar bromo

 

Sebuah karya sastra seperti fiksi, puisi maupun drama akan memberikan koneksi untuk mempertanyakan dan memperhatikan detail bagi para pembacanya. Membaca jenis ini dapat memberikan pengalaman dan gambaran untuk mengunjungi suatu tempat, kejadian, waktu, dan budaya yang mungkin tidak sempat dijejaki langsung. Selain itu, pembaca dipaksa untuk menganalisa apa maksud dari penulis melalui tulisannya. Itulah sebabnya, kadang beberapa bacaan dinikmati bukan hanya untuk menghabiskan waktu luang ataupun sebagai pelipur lara. Beberapa bacaan membuat pembaca harus meluangkan waktu bahkan emosi untuk membaca dan menghabiskannya. Oleh karena itu, dengan beberapa perhatian detail yang disajikan dalam sebuah bacaan, kita sebagai pembaca bukan tidak mungkin akan menemukan hasrat penulis.

Continue reading “Jalan-jalan Bersama Stebby di Kota Tuhan”