bahasa, budaya, penghargaan, politik, psikologi, renungan, sejarah, seks, spiritualitas

Mencumbu Terra Incognita


Oleh: Stebby Julionatan *)

 

PADA 17 Juni 2019, wali kota Probolinggo menggagalkan rencana Komunlis (Komunitas Menulis) untuk menggelar nobar film Kucumbu Tubuh Indahku (KTI). Alasannya, banyak aksi penolakan di daerah lain pada film ini yang ditakutkan akan berimbas serupa ketika nanti diputar di Probolinggo.

Isu-isu penolakan kaum agamawan dan fundamentalis yang berimbas pada penyerangan tempat-tempat publik adalah yang paling ditakutkan. Karena praktis, sejak penayangannya secara nasional, isu-isu LGBT menguak. Film itu pun dianggap sebagai bentuk dukungan atas orientasi seksual yang menyimpang.

Pada 17 Desember 2019, perjalanan Kucumbu Tubuh Indahku (KTI) untuk mewakili Indonesia pada perhelatan Oscar terhenti. Hal ini diumumkan oleh Fourcolours, produser film tersebut, dalam pernyataan resminya melalui akun Instagram. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah mendukung KTI dalam ajang Academy Awards Ke-92.

Di samping tanggal yang kebetulan sama (tujuh belas), ada satu fenomena yang dapat kita cermati dari dua peristiwa tersebut. Yakni, berkat keterwakilannya di Oscar, beberapa bioskop di daerah yang semula takut mulai longgar untuk kembali memutar KTI. Orang-orang pun, yang semula membenci dan terkungkung oleh dogma pelarangan kepala daerah, jadi penasaran dan malah berbondong-bondong untuk menyaksikan film unggulan Indonesia di ajang internasional tersebut. Hal tersebut menjadi bukti bahwa selama ini ada ketakutan publik yang tak beralasan terhadap sang ’’liyan’’.

Saya jadi ingat pidato kawan saya, Royyan Julian, saat dia diundang dalam acara perayaan Natal kemarin di jemaat GPIB ’’Mahkota Hayat’’ Pamekasan. Royyan yang saat itu mewakili umat muslim dan Gusdurian berkata bahwa kehidupan gereja bagi dirinya dan warga Pamekasan secara umum adalah terra incognita, daerah yang tak dikenal. Daerah yang mengundang tanya, penasaran, sekaligus rasa takut untuk dimasuki.

Mungkin seperti itu jugalah kehidupan Juno dalam KTI. Ia memunculkan rasa penasaran sekaligus ketakutan publik yang berujung pada prasangka dan kebencian –bahkan tanpa menonton filmnya terlebih dahulu secara utuh.

Kisah pencarian jati diri Juno yang diangkat secara apik oleh sutradara Garin Nugroho dari kisah seniman lengger lanang asal Banyumas, Rianto, sejatinya adalah hal yang juga lumrah terjadi di masyarakat. Terlebih jika kita memperbincangkannya dalam konteks budaya dan kesenian. Hal-hal seperti pertukaran peran pria dan wanita atau tampil di panggung tidak sesuai dengan identitas seksual yang melekat adalah hal yang membuat kesenian tradisional (misalnya ludruk) di desa-desa, khususnya di tempat saya bermukim, jadi ramai untuk dinikmati. Di periode ’90-an mungkin kita bisa mengingat kepopuleran Tessy dalam grup Srimulat.

Heti Palestina Yunani dalam esainya yang berjudul Kemenangan Tubuh yang Trauma (Jawa Pos, 15 Desember 2019) mengatakan bahwa kemenangan Garin (di FFI 2019 yang juga mengantarnya mewakili Indonesia pada ajang Oscar di tahun yang sama) pada perjalanan ketubuhan Rianto yang feminin sekaligus maskulin tersebut sejatinya adalah kemenangan ide. Tentang bagaimana kebudayaan itu lahir dari bentukan sosial, pengaruh, dan paparan paham politik yang membentuknya.

Lebih lanjut Heti mengatakan bahwa sejatinya KTI adalah gambaran proses pembelajaran Rianto tentang bagaimana memandang tubuh agar bisa lepas dari trauma.

’’Masyarakat perlu belajar setidaknya tak mengatakan hal yang buruk atau persepsi negatif tentang lelaki yang menari dalam pakaian perempuan.’’ Demikian ungkap Rianto. Sebab, pakaian penari saat tampil bukan sesuatu yang baru di Indonesia, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang dalam kebudayaan Indonesia.

Pengalaman yang sama (baca: ketakutan yang tak beralasan pada sosok liyan) saya alami saat menerbitkan novel Rumah Ilalang. Novel itu berkonsep soal kasih. Soal autokritik saya mengenai ketidakpedulian umat Kristen kepada mereka yang meninggal tanpa membayar iuran diakonia. Tapi, pembicaraan di setiap acara bedah buku yang digelar selalu berkutat pada seksualitas tokoh waria yang saya hadirkan, Tabita.

Sehingga penting bagi saya, sebelum menjelaskan dasar pemikiran, selalu meminta maaf kepada para peserta diskusi ketika nanti saya menjelaskan berdasar studi keilmuan dan empiris. Yang berarti tidak akan melegakan rasa penasaran mereka, alih-alih mengurangi rasa takut terhadap LGBT.

Saya rasa ketakutan ini beralasan. Saya pribadi menengarai bahwa sejak kasus pencabulan yang dilakukan oleh pedangdut Saiful Jamil, narasi bahwa homo adalah perusak generasi bangsa semakin santer. Masyarakat takut jika hal tersebut akan menimpa diri atau orang yang mereka cintai. Hingga kita mengenal istilah homofobia. Rasa takut terhadap mereka yang ditengarai homo.

Terlebih saat para pelaku pencabulan itu ditangkap, mereka senantiasa berdalih bahwa penyimpangan yang mereka alami diakibatkan oleh pengalaman masa kecil yang serupa. Maka, bergulirlah rantai setan fobia itu tanpa pemahaman lebih untuk memutusnya.

Berbincang soal yang liyan, di akhir 2019 ini saya diundang untuk mengisi beberapa acara literasi di Madura. Salah satunya di radio Ralita FM. Ada pengalaman menarik terkait kaum liyan yang terjadi saat saya diwawancarai meski hal tersebut terjadi secara off air. Sang penyiar berkata bahwa ia sempat melempar buku saya dan tak ingin melanjutkan membaca saat saya berkisah secara gamblang perihal kehidupan seksual tokoh saya yang waria itu. Ia berkata bahwa, ’’Mungkin saya sama seperti Hanung (tokoh ayah Tabita dalam novel Rumah Ilalang). Saya bisa menerima jika hal tersebut (baca: LGBT) terjadi di luar lingkungan saya. Tapi, saya tidak bisa menerima jika hal tersebut terjadi pada keluarga saya sendiri. Anak saya.’’

Ya, seperti yang saya jelaskan di awal, banyak orang percaya pada alasan orang-orang seperti Saiful Jamil yang ditangkap karena melakukan pelecehan seksual. Tapi, mereka tak pernah mau membaca atau menambah keilmuan mereka bahwa menjadi gay bukan karena Anda hidup di lingkungan yang banyak gay atau pernah dilecehkan secara seksual di dalamnya. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas akan hal tersebut. Bahkan, penelitian telah membuktikan bahwa ’’gay’’ adalah kode genetik yang telah tertulis dalam susunan DNA tubuh kita.

Biarlah pengalaman empiris saya yang menguatkannya. Saya pun pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ’’paman’’ saya saat saya SMA. Saat saya belum genap berusia 17 tahun. Tapi, hal tersebut tak lantas menjadikan saya seorang pedofil dan gemar mengumbar nafsu seksualnya. Menjadi gay pemangsa para lelaki.

Jadi, kenapa kita harus takut pada kisah Juno? Saya justru sepakat apa yang dikatakan oleh Whany Darmawan, si pemeran warok dalam KTI. Ia mengatakan bahwa beberapa orang membuat film sebagai alat hiburan, tapi apakah salah jika film digunakan sebagai potret sebenarnya bagi masyarakat yang tengah sakit? Masyarakat yang tidak mampu menerima perbedaan antara tubuh dan orientasi seksual? (*)


*) Stebby Julionatan, penyair, novelis, cerpenis, dan penggiat literasi dari Probolinggo

 

Tulisan ini dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 29 Desember 2019.

psikologi, renungan, sastra

Rumah Ilalang, Novel Stebby tentang Mayat Waria yang Ditolak ‘Agama’


Rumah Ilalang, Novel Stebby tentang Mayat Waria yang Ditolak ‘Agama’
Stebby Julionatan dengan novel terbarunya, Rumah Ilalang (foto: Istimewa)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Mungkin mudah untuk membayangkan rumah yang dibangun dari batu. Tapi bagaimana jika dari ilalang? Ilalang yang lintuh lagi lunglai itu, tentu tak bisa jadi bahan dasar membangun rumah. Itulah yang digambarkan Stebby Julionatan dalam novel terbarunya Rumah Ilalang.

Novel itu berkisah soal waria bernama Tabita yang mengalami penolakan di mana pun. Tak seorang pun mau menerimanya.

Bahkan lembaga agama yang dinilai perwujudan kasih dan suci. Kematian Tabita menguak segalanya, tentang siapa keluarganya, mengapa ia menjadi waria, pergulatan antar waria, bahkan siapakah yang ia cintai dan apakah cintanya berbalas.

Prof. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang, dalam status facebooknya pun mengatakan bahwa Rumah Ilalang adalah karya yang berani menggunakan bahasa jujur dan tidak memakai pupur bahasa yang hanya menyamarkan fenomena.

Ia tak terjerumus dalam kubangan “munafik-isme” yang penuh basa-basi sehingga kesulitan mencapai dasar persoalan.

Dikisahkan Stebby, naskah ini adalah salah satu dari 12 naskah pemenang lomba novelet yang diadakan oleh Penerbit Basabasi.

“Tema utama tulisan-tulisan saya masih seputar kasih. Kasih atau cinta itu tak melulu soal hubungan pria dan wanita saja, bukan?” ujar tokoh literasi Probolinggo yang saat ini sedang membuat gerakan budaya lewat problink.org ini.

Di buku ini, lanjut Stebby, saya juga ingin berbicara bahwa penolakan sosial masyarakat. Selagi kita hidup, mungkin penolakan sosial itu tidak terasa berat sebab masih kita perjuangkan. Nah, bagaimana kika kita ditolak ketika kita sudah mampus?

Di tangan penulis yang juga berprofesi sebagai penyiar radio ini, Probolinggo tak henti-hentinya menjadi bahan dasar yang diramunya.

“Saya memang ingin mememperkenalkan tanah kelahiran saya, Probolinggo,” ujar penulis yang tahun ini mendapatkan penghargaan sastrawan terbaik dari Gubernur Jawa Timur.

Meski tak menyebut Probolinggo secara gamblang, kalau kita cermati, dalam novel keduanya ini, secara pseudo Stebby bercerita mengenai kehidupan waria yang biasanya mangkal di Pasar Mangunharjo (Mbabian).

Buku Stebby Julionatan lainnya, yakni: LAN (novel), Barang yang Sudah Dibeli Tidak Ditukar Kembali (kumpulan cerpen), Biru Magenta (puisi), Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah (puisi) dan Rumah Ilalang (novela). Biru Magenta masuk daftar pendek Anugerah Pembaca Indonesia 2015. (*)

psikologi, renungan, sastra

Pseudo Probolinggo Di Karya Terbaru Stebby


IMG-20190924-WA0024-820x500

PROBOLINGGO | PORTAL BROMO – Di tangan Stebby Julionatan, Probolinggo tak henti-hentinya menjadi bahan dasar yang siap diramu. Termasuk di dalam novel keduanya ini, Rumah Ilalang. Meski tak menyebut Probolinggo secara gamblang, kalau kita cermati, buku ini secara pseudo bercerita mengenai kehidupan waria yang biasanya mangkal di Pasar Mangunharjo (Mbabian).

Dikisahkan Stebby bahwa naskah ini adalah salah satu dari 12 naskah pemenang lomba novelet yang diadakan oleh Penerbit Basabasi. “Tema utama tulisan-tulisan saya masih seputar kasih. Kasih atau cinta itu tak melulu soal hubungan pria dan wanita saja, bukan? Di buku ini saya juga ingin berbicara bahwa penolakan sosial kita. Selagi kita hidup, mungkin penolakan sosial itu tidak terasa berat sebab masih kita perjuangkan. Nah, bagaimana kika kita ditolak ketika kita sudah mampus?” ujar tokoh literasi Probolinggo yang saat ini sedang membuat gerakan budaya bernama Problink ini.

Rumah Ilalang berkisah soal waria bernama Tabita. Waria yang di hari kematiannya, tak seorang pun mau menerimanya. Bahkan lembaga agama yang sering dinilai suci dan merupakan perwujudan kasih Tuhan pun menolaknya. Kematian Tabita menguak segalanya. Tentang siapa keluarganya, kenapa dia menjadi waria, apa yang diinginkannya, termasuk siapakah yang ia cintai dan apakah cintanya berbalas.

Sejauh ini, secara solo, Stebby telah menerbitkan 5 judul buku. Yakni: LAN (novel), Barang yang Sudah Dibeli Tidak Ditukar Kembali (kumpulan cerpen), Biru Magenta (puisi), Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah (puisi) dan Rumah Ilalang (novela). Di 2015, Biru Magenta masuk daftar pendek Anugerah Pembaca Indonesia. Dan, di awal tahun ini, bersama 19 sastrawan lainnya, Stebby menerima penghargaan sebagai sastrawan terbaik Jawa Timur dari Gubernur, Khofifah Indar Parawansa.

Prof. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang, dalam status facebooknya pun mengatakan bahwa karya Stebby (Rumah Ilalang, red) adalah karya yang berani menggunakan bahasa jujur dan tidak memakai pupur bahasa yang hanya menyamarkan fenomena. Ia tak terjerumus dalam kubangan “munafik-isme” yang penuh basa-basi sehingga kesulitan mencapai dasar persoalan. (tim)

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, cinta tanah air, hobby, kemanusiaan, keseharian, lingkungan hidup, motivasi, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, seni

SHENOBI MIKAEL: TERJUN MENJADI PEKERJA SENI ADALAH BELAJAR TENTANG SENI BERSINERGI


Meski tanpa TOA suaranya sudah terdengar menggelegar, gayanya preman… jadi, ummm, tak ada tuh istilah “pelecehan seksual” yang dialami m(B)ak ini, belum lagi kalau sudah datang ke sebuah acara bersama asisten pribadinya, (e)L, hmmmm… Prolink pastikan libas abis tuh acara. Hahahaha.

Kalau nggak percaya, silahkan undang sendiri. 😀

Pemilik nama asli super-panjang yang lebih baik ditulis Novita Sutanto saja ini lebih dikenal sebagai Shenobi Mikael atau Nobhi. Dan… sebelum libur mudik lebaran kemarin, Prolink sempatkan untuk mencegatnya di jalan sekitar Subertaman – Jorongan, untuk menyodorinya beberapa pertanyaan yang wajib ia jawab. Hahahaha.

Dan berikut adalah jawabannya yang dicoret-coret asal begitu saja di balik kertas struk pembelanjaan Indomaret~

WhatsApp Image 2019-06-10 at 19.23.00.jpeg
KOPI: Rupanya Nobhi juga seorang penggemar kopi~

Continue reading “SHENOBI MIKAEL: TERJUN MENJADI PEKERJA SENI ADALAH BELAJAR TENTANG SENI BERSINERGI”

bahasa, berita, buku, cinta tanah air, keseharian, lingkungan hidup, pemerintahan, psikologi, renungan, sastra, sejarah, seni, spiritualitas

PRIA YANG MENANGIS DI DEPAN PIRING MAKANNYA


Judul Buku                : Biografi Tubuh Nabi
Jenis                           : Kumpulan Puisi
Penulis                       : Royyan Julian
Penerbit                     : Basabasi
Cetakan                     : Pertama, Desember 2017
Tebal                          : 176 halaman
ISBN                          : 978-602-6651-63-1
Peresensi                   : Stebby Julionatan *)

2018. Tahun politik. Media promosi, termasuk di dalamnya adalah banner-banner dukungan terhadap calon kepala daerah mulai bertebaran. Berlomba untuk menarik perhatian, meminta dukungan, dengan berbagai janji, visi misi dan juga program kerja yang akan mereka lakukan ketika terpilih. Semuanya untuk rakyat.

104381_f.jpg

Namun, saya miris dengan apa yang terjadi. Di balik indah dan meriahnya kampanye tersebut, ada satu hal yang dikorbankan. Alam. Ya, tukang-tukang yang dipercaya untuk menempel media promosi, dengan seenaknya memaku banner-banner tersebut di pohon –dan bukan mengaitnya dengan kawat. Selain secara aturan (yang berlaku di kota saya) dilarang, tindakan memaku pohon adalah bentuk eco-terorism. Memaku pohon berdampak pada terganggunya kehidupan dan kesehatan pohon yang kita paku.

 

Continue reading “PRIA YANG MENANGIS DI DEPAN PIRING MAKANNYA”

bahasa, budaya, cinta, cinta tanah air, film, hobby, kehidupan, kemanusiaan, motivasi, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, sejarah, seni, spiritualitas

SUPERNOVA, VISUALISASI RIZAL DAN BEBAN TEKS


Judul film          : Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh
Genre               : Science Fiction
Sutradara         : Rizal Mantovani
Skenario          : Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya berdasarkan novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh karya Dewi Lestari
Produser          : Sunil Soraya
Pemain             : Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Paula Verhouven, Arifin Putra, Hamish Daud, Hany Pattikawa.
Produksi          : PT Soraya Intercine Films
Durasi              :     menit
Tanggal Rilis   : 11 Desember 2014
Peresensi         : Stebby Julionatan *)

S U P E R N O V A

– Diperuntukkan bagi Anda yang ingin HIDUP –

Selamat datang.

Hari ini Supernova mengajak Anda nonton ke bioskop.

Ingatkah Anda ketika sedang berada dalam bioskop, menyaksikan sebuah film yang menggerakkan emosi? Detik pertama Anda larut, layar yang penuh cahaya dan warna itu telah berhasil menyentuhkan kehidupan ke dalam pikiran Anda. Membuat Anda menangis, tertawa, atau bahkan ingin membunuh seseorang.

Di posisi itu, Anda adalah penonton. Penonton pasif yang distimulasi oleh stimulus-stimulus virtual yang aktif. Apakah stimulus-stimulus tadi punya kepentingan tertentu? Kepentingan mereka hanya satu: berkembang biak. Melalui Anda semua. Apa yang Anda pikir tidak hidup, ternyata hidup, dan SANGAT hidup. Mereka seperti virus, tak dapat didefinisikan hidup atau mati, sampai ia menemukan inang untuk dijadikan medium. Respons negatif atau positif Anda tidak menjadi pertimbangan. Mereka sudah mendapatkan hidupnya, di detik pertama Anda mulai memberikan reaksi. Mulai memberikan arti.

*****supernova-poster

Demikian penggalan pesan Supernova saat ia menyapa penciptanya, Dhimas dan Ruben. Surel yang membuat mereka berdua syok dan mulai menimbang-nimbang (bahkan menyadari) bahwa keduanya adalah dalang tempelan. Dua orang pria yang bahkan tidak punya nama belakang, yang hidup dalam sebuah molekul pikiran penulis lain dan akan tamat riwayatnya pada saat halaman terakhir buku tersebut selesai ditulis.

Continue reading “SUPERNOVA, VISUALISASI RIZAL DAN BEBAN TEKS”

berita, cinta, cinta tanah air, kemanusiaan, keseharian, kesehatan, motivasi, pemerintahan, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sejarah

2015 TAK LAGI ADA SEKOLAH YANG MENOLAK ABK


“Tahun 2015, semua sekolah adalah sekolah inklusi. Tak boleh lagi ada sekolah yang menolak ABK (anak berkebutuhan khusus, red.),” itulah seruan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Olahraga dan Seni, Heri Wijayani pada pelaksanaan talkshow dan seminar Menuju Probolinggo Kota Inklusif 2015 yang digelar di Orin Hall and Resto, 08.00 WIB, Kamis (28/8) lalu.

Acara yang dimaksudkan untuk memberikan bimbingan teknis sekaligus sosialisasi pembudayaan pendikan inklusif kepada para kepala sekolah, guru dan orang tua wali murid ini, dihadiri oleh Direktur PK-LK Kemendikbud RI Mudjito, Kasubid Pembelajaran Dirjen Pendidikan Dasar Supraptono dan Direktur Pasca Sarjana Pendidikan Luar Biasa Unesa Surabaya Budiyanto. Tampak hadir pula Sekdakot Probolinggo Johny Haryanto dan Kepala Dinas Pendidikan Endro Suroso.

Dalam sambutannya, Mudjito menyampaikan bahwa ABK punya hak yang sama dengan murid pada umumnya.

Continue reading “2015 TAK LAGI ADA SEKOLAH YANG MENOLAK ABK”

bahasa, berita, budaya, buku, cinta, film, hobby, kehidupan, kemanusiaan, motivasi, pariwisata, pemerintahan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, seni, spiritualitas

CATATAN DARI BEDAH BUKU CINTA SUCI ZAHRANA


AJANG SILATURAHMI KANG ABIK DI KOTA BAYUANGGA

Kota Probolinggo boleh berbangga. Pasalnya Minggu (11/11) lalu, novelis kondang yang dikenal lewat Ayat-Ayat Cinta,  Habiburrahman El Shirazy, bertandang ke Kota Probolinggo.

Kedatangan penulis, dai, motivator yang juga berprofesi sebagai sutradara ini, tentunya bukan tanpa maksud. Kang Abik, begitulah Habiburrahman El Shirazy senantiasa disapa, berniat untuk menjalin tali silahturahmi dengan para penggemar dan pembaca karya-karyanya di kota Mangga ini lewat kegiatan bedah buku Cinta Suci Zahrana dan seminar menulis karya best seller.

Saking spesialnya kehadiran Kang Abik, maka Sekdakot Probolinggo, Johny Haryanto, sendiri yang menyambut Kang Abik dalam acara pembukaan bedah buku yang dilaksanakan di Puri Manggala Bhakti, Kantor Walikota Probolinggo.

Continue reading “CATATAN DARI BEDAH BUKU CINTA SUCI ZAHRANA”

cinta, kehidupan, psikologi, renungan, spiritualitas

MENJADI PEMUDA YANG TAK MENOLAK DIDIKAN


Tukang pangkas rambut itu tersentak. Bagaimana tidak, salah seorang pelanggannya yang baru saja ia pangkas rambutnya mengatakan kalau dia tidak ada. Tukang pangkas itu tidak ada. He doesn’t exist.

“Tukang pangkas rambut itu tidak ada.” Kata pelanggannya itu tegas di hadapannya.  Saya tidak pernah percaya kalau tukang pangkas rambut itu pernah ada, mungkin bisa diartikan seperti itu. Yang mana, di sebelah pelanggannya yang baru saja ia pangkas rambutnya itu, telah berdiri seorang pengemis, seorang gelandangan, berwajah kucel, tak pernah mandi, berambut gimbal dan compang-camping yang baru saja ia olok-olok terkait ketiadaan TUHAN dalam kehidupan ini.

Ia ingat, sesaat lalu pelanggannya itu bertanya: “Kenapa kau bilang bahwa Tuhan itu tidak ada?”

Continue reading “MENJADI PEMUDA YANG TAK MENOLAK DIDIKAN”

agama, bahasa, budaya, buku, cinta, hobby, kehidupan, kemanusiaan, keseharian, motivasi, pariwisata, pendidikan, penghargaan, psikologi, renungan, sastra, spiritualitas

Maka Sebenarnya, Hidup Ini…Milik Siapa? – Resensi Novel “LAN” karya: Stebby Julionatan


*) oleh: Ratna Satyavati

Judul : LAN
Genre : Novel
Penulis : Stebby Julionatan
Penerbit : Bayumedia dan Pemkot Probolinggo
Cetakan : 1, 2011
Jumlah Halaman : vii + 201 halaman.

“Betapa bahwa satu-satunya jalan untuk menempuh kehidupan milik sendiri adalah dengan ‘kematian’…”

Begitulah bunyi tagline dari novel perdana karya Stebby Julionatan ini.

Pada awalnya, jujur, saya tak terlalu tergugah dengan tagline dari novel ini. Sebab beberapa kali sebelumnya saya pernah membaca tagline serupa pada artikel filsafat yang sayapun telah lupa melihatnya dimana.

“Kehidupan yang sejati adalah Kematian”. Bernada serupa, bukan?

Namun setelah kurang lebih membaca hingga halaman ke-20an, saya mulai merasa semacam tertarik dan tergelitik oleh sosok Erlan, tokoh utama dari novel ini, yang pada usia yang relatif muda, yaitu 17 tahun tergolong memiliki pemikiran yang ‘berbeda’ dibanding remaja pada umumnya.

Continue reading “Maka Sebenarnya, Hidup Ini…Milik Siapa? – Resensi Novel “LAN” karya: Stebby Julionatan”