cinta, renungan, sastra, seks, seni, spiritualitas

The 17 Remaining: Memories of My Body


On June 17th 2019, the Mayor of Probolinggo successfully halted Writing Community (Komunlis) initiative of joint movie gigs: Kucumbu Tubuh Indahku/KTI (The Memories of My Body). Mimicking other city governments’ and fear of few groups rejection escalating shall this movie ever played in Probolinggo.

Religious leaders with fundamentalist views among that few rejecting groups may trigger public outrage which could cause public properties damage. Practically since KTI was aired nationally, it raised support over LGBT issues and difference of sexual orientation diversion.

Then again the journey of this movie were ceased on December 17th 2019 from representing Indonesia on 2020 Academy Awards as announced by Fourcolour, its production house official instagram. Generously thank all those supporting KTI made its way to The Annual 92nd Academy Awards thus far.

The 17th on both events above is relatable phenomenon connecting the two. The movie representation in an Oscar pre-selection filma has diverted public reactions driving them to theatres in major cities within to watch KTI and those feared started to flexibly accepting. These include those shadowed with hatred & imprisoned by local authorities’ dogmatic views changed their minds upon KTI recent international recognition. This confirms irreasonably proven public fears over ‘the others’ group.

I was reminded by my best buddy, Royyan Julian, for his speech at Christmas Celebration for GPIB “Mahkota Hayat” Church in Pamekasan – Madura representing muslim community & Gusdurian said that church life for him in Pamekasan is generallytera incognita, the unknown zone. The zone invites questions, curiousity & feared to enter.

This may similar to Juno’s lives in KTI as well. Of which sparks curiousity & public fears at the same ended up in prejudice and hatred – even before fully watching this movie in the first place.

Juno self-seeking identity journey marvellously depicted by the director, Garin Nugroho, of lengger male artistic dancer in Banyumas exquisitely portrayed by Rianto is ultimately common in public.

Moreover if discussed in the context of culture & arts. Gender switching from male to female or if stage-performed versus first-sexual identity in traditional performance arts such as Ludruk in villages specifically where I live become quite crowds-attraction. In 90’s, we werereminded by Tessy (male turned to female comedian) in Srimulat comedian group.

Heti Palestina Yunani in her essay titld Kemenangan Tubuh yang Trauma / The Winning of Traumatic Body (published by Jawa Pos newspaper on 15 December 2019), noted Garin’s winnings (in 2019 Indonesia Film Festival which also sent him to Oscar pre-selection in the same year) described Rianto feminine & masculine bodily journey is also an ultimate winning of idea. About how culture was born out of social formation as well as political influence and understanding that makes them.

Heti further said KTI is Rianto ultimate depiction of how body traumatic detachment learning process took place.

“People needs to learn the least not to say or express negative perception over male dancing in female outfit,” as Rianto said. Dancer’s outfit is nothing new & closely related to Indonesia long cultural history.

I’ve had the same experience (reads: irreasonable fears over ‘the other group’) when publishing my novel Rumah Ilalang. Despite about compassion & my auto-critics over ignorance of Christian community to those deceased without paying diaconia, the talks in book reviews always around the drag sexuality figure named Tabita. I need to apologize the audience as I will be explaining from scientic studies & empirical point of LGBT.

Such fear is reasonable. I personally thought since molestation case of dangdut singer, Saiful Jamil, homosexual damages nation’s generation became prominent. Society feared if thus could affect them or their loved ones. Until we learn the term of homophobia. Feared to those assumed homosexual. Moreover if molester is caught, they tend to assume such caused by same childhood experience. This devilish phobia is spiralling without further understanding.

Discussing ‘the other’ at the end of 2019, I was invited to literary event at Ralita FM radio station in Madura. Interestingly in off-air interview about ‘the other’, radio announcer thrown my book & refused to continue reading the illicit sexual content of this drag figure.

She said: “I might be like Hanung (Tabita father figure in Rumah Ilalang novel). I could accept if that (reads: LGBT) happen outside of my surroundings. But may not accept if that happens to my family. My child”

As I explained earlier many believes reason given by Saiful Jamil when caught after molestation. However, they’d not want to read or enrich their knowledge that surrounded by gays or had sexual molestation does not necessarily turn into gay. Human has free-will that latest research indicates being ”gay” is genetically imprinted within the body DNA.

I let my empirical experience empowered me instead after experiencing molestation by an ‘uncle’ when in high school even before turning 17. I never let myself to become a pedophille.

Then why should we afraid of Juno storyline? I conquer with Whany Darmawan, the manly-figure (warok) in KTI. He said few people make movies for entertainment but would it be wrong if movie is used as real portrayal of badly-ill society which unable to accept bodily difference & sexual orientation?

Published in Jawa Pos. Sunday, Januari 29th with tittled Mencumbtu Terra Incognita (Kissing Terra Incognita).

Continue reading “The 17 Remaining: Memories of My Body”

bahasa, budaya, penghargaan, politik, psikologi, renungan, sejarah, seks, spiritualitas

Mencumbu Terra Incognita


Oleh: Stebby Julionatan *)

 

PADA 17 Juni 2019, wali kota Probolinggo menggagalkan rencana Komunlis (Komunitas Menulis) untuk menggelar nobar film Kucumbu Tubuh Indahku (KTI). Alasannya, banyak aksi penolakan di daerah lain pada film ini yang ditakutkan akan berimbas serupa ketika nanti diputar di Probolinggo.

Isu-isu penolakan kaum agamawan dan fundamentalis yang berimbas pada penyerangan tempat-tempat publik adalah yang paling ditakutkan. Karena praktis, sejak penayangannya secara nasional, isu-isu LGBT menguak. Film itu pun dianggap sebagai bentuk dukungan atas orientasi seksual yang menyimpang.

Pada 17 Desember 2019, perjalanan Kucumbu Tubuh Indahku (KTI) untuk mewakili Indonesia pada perhelatan Oscar terhenti. Hal ini diumumkan oleh Fourcolours, produser film tersebut, dalam pernyataan resminya melalui akun Instagram. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah mendukung KTI dalam ajang Academy Awards Ke-92.

Di samping tanggal yang kebetulan sama (tujuh belas), ada satu fenomena yang dapat kita cermati dari dua peristiwa tersebut. Yakni, berkat keterwakilannya di Oscar, beberapa bioskop di daerah yang semula takut mulai longgar untuk kembali memutar KTI. Orang-orang pun, yang semula membenci dan terkungkung oleh dogma pelarangan kepala daerah, jadi penasaran dan malah berbondong-bondong untuk menyaksikan film unggulan Indonesia di ajang internasional tersebut. Hal tersebut menjadi bukti bahwa selama ini ada ketakutan publik yang tak beralasan terhadap sang ’’liyan’’.

Saya jadi ingat pidato kawan saya, Royyan Julian, saat dia diundang dalam acara perayaan Natal kemarin di jemaat GPIB ’’Mahkota Hayat’’ Pamekasan. Royyan yang saat itu mewakili umat muslim dan Gusdurian berkata bahwa kehidupan gereja bagi dirinya dan warga Pamekasan secara umum adalah terra incognita, daerah yang tak dikenal. Daerah yang mengundang tanya, penasaran, sekaligus rasa takut untuk dimasuki.

Mungkin seperti itu jugalah kehidupan Juno dalam KTI. Ia memunculkan rasa penasaran sekaligus ketakutan publik yang berujung pada prasangka dan kebencian –bahkan tanpa menonton filmnya terlebih dahulu secara utuh.

Kisah pencarian jati diri Juno yang diangkat secara apik oleh sutradara Garin Nugroho dari kisah seniman lengger lanang asal Banyumas, Rianto, sejatinya adalah hal yang juga lumrah terjadi di masyarakat. Terlebih jika kita memperbincangkannya dalam konteks budaya dan kesenian. Hal-hal seperti pertukaran peran pria dan wanita atau tampil di panggung tidak sesuai dengan identitas seksual yang melekat adalah hal yang membuat kesenian tradisional (misalnya ludruk) di desa-desa, khususnya di tempat saya bermukim, jadi ramai untuk dinikmati. Di periode ’90-an mungkin kita bisa mengingat kepopuleran Tessy dalam grup Srimulat.

Heti Palestina Yunani dalam esainya yang berjudul Kemenangan Tubuh yang Trauma (Jawa Pos, 15 Desember 2019) mengatakan bahwa kemenangan Garin (di FFI 2019 yang juga mengantarnya mewakili Indonesia pada ajang Oscar di tahun yang sama) pada perjalanan ketubuhan Rianto yang feminin sekaligus maskulin tersebut sejatinya adalah kemenangan ide. Tentang bagaimana kebudayaan itu lahir dari bentukan sosial, pengaruh, dan paparan paham politik yang membentuknya.

Lebih lanjut Heti mengatakan bahwa sejatinya KTI adalah gambaran proses pembelajaran Rianto tentang bagaimana memandang tubuh agar bisa lepas dari trauma.

’’Masyarakat perlu belajar setidaknya tak mengatakan hal yang buruk atau persepsi negatif tentang lelaki yang menari dalam pakaian perempuan.’’ Demikian ungkap Rianto. Sebab, pakaian penari saat tampil bukan sesuatu yang baru di Indonesia, melainkan memiliki sejarah yang sangat panjang dalam kebudayaan Indonesia.

Pengalaman yang sama (baca: ketakutan yang tak beralasan pada sosok liyan) saya alami saat menerbitkan novel Rumah Ilalang. Novel itu berkonsep soal kasih. Soal autokritik saya mengenai ketidakpedulian umat Kristen kepada mereka yang meninggal tanpa membayar iuran diakonia. Tapi, pembicaraan di setiap acara bedah buku yang digelar selalu berkutat pada seksualitas tokoh waria yang saya hadirkan, Tabita.

Sehingga penting bagi saya, sebelum menjelaskan dasar pemikiran, selalu meminta maaf kepada para peserta diskusi ketika nanti saya menjelaskan berdasar studi keilmuan dan empiris. Yang berarti tidak akan melegakan rasa penasaran mereka, alih-alih mengurangi rasa takut terhadap LGBT.

Saya rasa ketakutan ini beralasan. Saya pribadi menengarai bahwa sejak kasus pencabulan yang dilakukan oleh pedangdut Saiful Jamil, narasi bahwa homo adalah perusak generasi bangsa semakin santer. Masyarakat takut jika hal tersebut akan menimpa diri atau orang yang mereka cintai. Hingga kita mengenal istilah homofobia. Rasa takut terhadap mereka yang ditengarai homo.

Terlebih saat para pelaku pencabulan itu ditangkap, mereka senantiasa berdalih bahwa penyimpangan yang mereka alami diakibatkan oleh pengalaman masa kecil yang serupa. Maka, bergulirlah rantai setan fobia itu tanpa pemahaman lebih untuk memutusnya.

Berbincang soal yang liyan, di akhir 2019 ini saya diundang untuk mengisi beberapa acara literasi di Madura. Salah satunya di radio Ralita FM. Ada pengalaman menarik terkait kaum liyan yang terjadi saat saya diwawancarai meski hal tersebut terjadi secara off air. Sang penyiar berkata bahwa ia sempat melempar buku saya dan tak ingin melanjutkan membaca saat saya berkisah secara gamblang perihal kehidupan seksual tokoh saya yang waria itu. Ia berkata bahwa, ’’Mungkin saya sama seperti Hanung (tokoh ayah Tabita dalam novel Rumah Ilalang). Saya bisa menerima jika hal tersebut (baca: LGBT) terjadi di luar lingkungan saya. Tapi, saya tidak bisa menerima jika hal tersebut terjadi pada keluarga saya sendiri. Anak saya.’’

Ya, seperti yang saya jelaskan di awal, banyak orang percaya pada alasan orang-orang seperti Saiful Jamil yang ditangkap karena melakukan pelecehan seksual. Tapi, mereka tak pernah mau membaca atau menambah keilmuan mereka bahwa menjadi gay bukan karena Anda hidup di lingkungan yang banyak gay atau pernah dilecehkan secara seksual di dalamnya. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas akan hal tersebut. Bahkan, penelitian telah membuktikan bahwa ’’gay’’ adalah kode genetik yang telah tertulis dalam susunan DNA tubuh kita.

Biarlah pengalaman empiris saya yang menguatkannya. Saya pun pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ’’paman’’ saya saat saya SMA. Saat saya belum genap berusia 17 tahun. Tapi, hal tersebut tak lantas menjadikan saya seorang pedofil dan gemar mengumbar nafsu seksualnya. Menjadi gay pemangsa para lelaki.

Jadi, kenapa kita harus takut pada kisah Juno? Saya justru sepakat apa yang dikatakan oleh Whany Darmawan, si pemeran warok dalam KTI. Ia mengatakan bahwa beberapa orang membuat film sebagai alat hiburan, tapi apakah salah jika film digunakan sebagai potret sebenarnya bagi masyarakat yang tengah sakit? Masyarakat yang tidak mampu menerima perbedaan antara tubuh dan orientasi seksual? (*)


*) Stebby Julionatan, penyair, novelis, cerpenis, dan penggiat literasi dari Probolinggo

 

Tulisan ini dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 29 Desember 2019.