bahasa, buku

UPAYA MENDATANGKAN HUJAN DI MUSIM YANG TAK TENTU


Hujan pula yang rupanya menyergap sastrawan Wina Bojonegoro (hal. vii) saat dirundung gelisah, efek dari pandemi covid-19 di awal tahun ini. Bisnisnya tiarap, pemasukan mendekati titik nadir, hingga hobi jalan-jalannya pun harus terhenti. Dari arah balkon rumahnya di kawasan Pesawahan, Desa Semambung, Kab. Pasuruan, dia begitu kesal dengan mendung tebal yang disangkanya akan turun hujan itu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Menguap, tak menyisakan tetas harapan sedikit pun. Ya, bisa jadi, hujan jadi semacam harapan ‘kecil’ untuk menyenangkan diri di tengah pandemi.

Tak ingin mengandung kegelisahan seorang diri, ia lemparkan ide ini kepada para murid yang diampunya bersama rekan-rekan penulis yang lain seperti Damhuri Muhammad, Yusri Fajar, Ken Hanggara, Endri Kurniawati dan Masdar Zainal. “Tubuh boleh tidak kemana-mana, tetapi otak dan pikirian tak boleh lengket dengan tempat kita berada”.

Ya, ia memanfaatkan teknologi yang saat itu bisa dijangkaunya, yakni grup whatsapp, untuk memberi pelatihan menulis. Hingga dapat kita bayangkan, bagaimana ruwetnya menggelar diskusi atau kelas menulis cerpen dengan platform WA grup. Selama sepuluh minggu 28 peserta yang bergabung ini dilatih. Tema hujan yang tak jadi datang itu pun itu pun, bak virus, menyusup ke benak para peserta terpilih. Dan saya rasa, inilah kecerdasan Wina. “Aku ingin tahu jadi apa tema itu di benak meraka,” ungkapnya.

Fifin Maidarina mengubah ‘hujan’ jadi ketakutan akan pernikahan. Sebab hujan senantiasa membuyarkan pesta pernikahan kedua kakaknya (cerpen Menahan Hujan). Atau, di tangan Dhian HP, ‘hujan’ yang urung turun seperti keringnya maaf sang almarhumah ibu saat melihatnya kini bersama dengan wanita lain yang ia cintai (cerpen Menghianati Ibu). 

Seumpama benih, meski disiram hujan, ide tak lantas begitu saja tumbuh di sembarang tempat. Ia memerlukan lahan yang subur agar dapat berkembang. Dari 28 peserta, ternyata hanya 16 orang yang karyanya dinyatakan lolos kurasi dan layak dibukukan.

Balik ke soal pandemi, pandemi membawa kita pada keadaan chaos. Terlebih di saat-saat awal, kita tak tahu kapan keadaan akan membaik, kapan perbaikan akan datang, kapan kita dapat beraktifitas kembali seperti dahulu. Ya, tapi, seperti yang Wina sampaikan dalam pengantarnya, kita tak boleh menyerah pada keadaan. Manusia adalah makhluk yang bergerak (homo motus). Sebagaimana cerpen Anak Hujan karya Fenny Indah K. Meski Bumi adalah bayi laki-laki yang tak dikehendaki ibunya sebab lahir dengan kaki pendek sebelah, namun dia tetap manusia yang layak dicintai dan mencintai.

Atau cerpen Lelaki yang Pulang Ke Laut karya Retno Wilis yang mengisahkan ketegaran ibu dari seorang anak perempuan bernama Nara ketika suaminya harus berpulang untuk selamanya. Yang paling saya suka adalah karya Metta Mevlana, Batu Kelam Tetasan Hujan. Memadukan legenda urban Bidadari Haur Uljanati –yang ternyata juga adalah karangan Metta saat melihat arti dari lema ‘haur’ di KBBI, yang ditutup dengan begitu tragis dengan menggelindingkan tubuh sang suami ke sungai di depan rumah.

Pengarang menggunakan simbol karena simbol mempunyai sifat multitafsir. Simbol dikatakan objek yang tidak dapat dimengerti secara langsung karena selain simbol merupakan proses pikiran yang rumit, simbol pulalah yang akan mendekatkan kita sebagai pembaca pada karya yang ditulis oleh pengarang. Termasuk, simbol pulalah yang membawa pengarang pada kebaruan proses penciptaan. 

Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini, saya rasa, adalah simbol harapan yang berupaya membawa pembaca pada kesadaran bahwa, sekali lagi, manusia harus terus bergerak, meski digempur oleh keringnya kesempatan. Sebagaimana cerpen karangan Dewi Purboratih yang berjudul Laki-laki Masa Lalu. Nyonya Darmawan yang harus mengikhlaskan mantan kekasihnya untuk menjadi seorang Romo. Kesempatan memang tak membuatnya menikah dengan “Hatue”, laki-laki asal Dayak yang begitu dicintainya, namun keputusannya untuk berserah membawanya pada pemahaman baru akan iman percaya.

Hanya saja, sedikit ketidakjelian kurator terjadi di cerpen ini. Tokoh ‘aku’ dalam cerita menggunakan setting waktu paskah yang ia rayakan pada 12 April 2020. Padahal, kita tak mungkin melakukan kegiatan apapun di masa itu. Wabah pandemi pada gelombang 1 yang menyerang Indonesia di awal Maret, belumlah berakhir bulan April 2020.

Dengan menggadang diri sebagai antologi cerpen yang lahir di tengah pandemi, sekaligus hasil dari workshop menulis cerpen bach #1 yang dihelat oleh Padmedia dengan cara yang terbilang ‘ruwet’, bagi saya kehadiran buku ini patutlah dirayakan dan diapresiasi. Terlebih ketika kita tahu, nama ke-16 orang penulisnya bukanlah nama-nama sastrawan yang karyanya senantiasa hilir mudik di media cetak atau daring.

Mungkin, dan ini adalah hal kedua yang saya kagumi dari sosok Wina Bojonegoro, adalah Ketelatenannya mengajar. Dari yang tak bisa menjadi bisa, dari yang ‘berlum pernah’ menjadi ‘telah’. Ya, sebagai buku bacaan, saya merekomendasikan “Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini” sebagai bacaan bagi Anda yang ingin bangkit dari posisi stagnan, untuk mendapatkan semangat yang mengalir di sana.

Kesempatan boleh kecil, namun bukan berarti tak ada. Seperti “Hujan Bulan Juni” Sapardi yang merahasiakan rintik rindunya. Seperti “Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini” milik Wina Bojonegoro, dkk. yang mengalun sendu namun tak lantas tenggelam dalam keadaan yang tak menentu.

*) Stebby Julionatan, penulis yang berasal dari Kota Probolinggo – Jawa Timur, peraih Jatim Harmoni 2019.

Leave a comment