psikologi, renungan, sastra

Pseudo Probolinggo Di Karya Terbaru Stebby


IMG-20190924-WA0024-820x500

PROBOLINGGO | PORTAL BROMO – Di tangan Stebby Julionatan, Probolinggo tak henti-hentinya menjadi bahan dasar yang siap diramu. Termasuk di dalam novel keduanya ini, Rumah Ilalang. Meski tak menyebut Probolinggo secara gamblang, kalau kita cermati, buku ini secara pseudo bercerita mengenai kehidupan waria yang biasanya mangkal di Pasar Mangunharjo (Mbabian).

Dikisahkan Stebby bahwa naskah ini adalah salah satu dari 12 naskah pemenang lomba novelet yang diadakan oleh Penerbit Basabasi. “Tema utama tulisan-tulisan saya masih seputar kasih. Kasih atau cinta itu tak melulu soal hubungan pria dan wanita saja, bukan? Di buku ini saya juga ingin berbicara bahwa penolakan sosial kita. Selagi kita hidup, mungkin penolakan sosial itu tidak terasa berat sebab masih kita perjuangkan. Nah, bagaimana kika kita ditolak ketika kita sudah mampus?” ujar tokoh literasi Probolinggo yang saat ini sedang membuat gerakan budaya bernama Problink ini.

Rumah Ilalang berkisah soal waria bernama Tabita. Waria yang di hari kematiannya, tak seorang pun mau menerimanya. Bahkan lembaga agama yang sering dinilai suci dan merupakan perwujudan kasih Tuhan pun menolaknya. Kematian Tabita menguak segalanya. Tentang siapa keluarganya, kenapa dia menjadi waria, apa yang diinginkannya, termasuk siapakah yang ia cintai dan apakah cintanya berbalas.

Sejauh ini, secara solo, Stebby telah menerbitkan 5 judul buku. Yakni: LAN (novel), Barang yang Sudah Dibeli Tidak Ditukar Kembali (kumpulan cerpen), Biru Magenta (puisi), Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah (puisi) dan Rumah Ilalang (novela). Di 2015, Biru Magenta masuk daftar pendek Anugerah Pembaca Indonesia. Dan, di awal tahun ini, bersama 19 sastrawan lainnya, Stebby menerima penghargaan sebagai sastrawan terbaik Jawa Timur dari Gubernur, Khofifah Indar Parawansa.

Prof. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang, dalam status facebooknya pun mengatakan bahwa karya Stebby (Rumah Ilalang, red) adalah karya yang berani menggunakan bahasa jujur dan tidak memakai pupur bahasa yang hanya menyamarkan fenomena. Ia tak terjerumus dalam kubangan “munafik-isme” yang penuh basa-basi sehingga kesulitan mencapai dasar persoalan. (tim)