keseharian, pariwisata

KEBERANIAN


KATA seorang samurai, berani bukan berarti kita tidak memiliki rasa takut, melainkan bagaimana kita dapat mengalahkan rasa takut yang kita miliki…

dan akhirnya aku bisa mengalahkan ketakutan tebesarku seperti yang dikatakan samurai itu…

mengatasi ketakutan

Lihatlah… pengalamanku ke Pulau Penyu!!!
Kalian semua kan pada tahu kalau aku tuh paling anti sama yang namanya hewan melata. (khususnya sama hewan melata yang tubuhnya lunak dan punya kaki). Jangankan sama penyu yang segede tas punggungku. Melihat kura-kura di akuariumnya Galang aja membuat hatiku miris dan bergidik. Jijik, pokoknya. “Punya kaki tapi kok jalannya merayap?” Hal itulah yang ada di dalam pikiranku. Mangkannya ketika memandu tour ke Bali (kalo ga salah tanggal 26 Januari 2008), dimana salah satu objek wisata yang dikunjungi adalah Tanjung Benoa yang terkenal akan Pulau Penyu-nya, maka yang muncul dalam pikiranku adalah: “Opo muaneh iki?”

Mau tak mau, karena pada saat itu aku bertugas sebagai tour leader, aku harus mengatasi rasa takutku. Dengan tampang sok berani, aku mengawal beberapa orang dari rombongan tour-ku (termasuk Pak Gayon dan istrinya) untuk pergi ke pulau itu. Bahkan setelah sampai di pulau itu, aku dengan nekat mendekati penyu-penyu itu, menggendongnya dari dalam air dan berfoto bersama mereka. Dan inilah hasilnya….

politik

BonX dan POLITIK


Hari ini Pak Harto (mantan Presiden II Republik Indonesia, pen.) meninggal. Dan aku baru mengetahuinya dari Mz. Agi-BromoFM yang memintaku untuk (sekali lagi) menjadi guest speaker di KGRE minggu ini. Topiknya: “WHAT DO YOU THINK ABOUT ALMARHUM SOEHARTO?” Untung aja aku ga bisa datang karena masih di Bali (kebetulan pas lagi di-SMS aku udah mo keluar dari Bedugul), coba kalo aku bisa datang dan jadi pembicara, bakalan rusak tuh radio. Kalian tahu sendiri kan napa??? Coz aku bakal jadi pihak yang kontra n acuh tak acuh dengan kematiannya.

Sumpah, kalo disuruh bicara soal politik, aku termasuk orang yang paling alergi. Meski pada tulisan sebelumnya (Bagi Ayahku, PNS adalah Segalanya, pen.), aku sempat menyinggung sedikit soal Orde baru dan sistem pendidikannya. “Emang lo siapa?” Begitulah kataku dalam hati. “Bapak Pembangunan??? Mmmm… berarti kuli donk!” Hiks… maap terlalu kurang ajar yach?!

Well, terus terang aku ga bakalan menutup mata atas jasa-jasa yang telah beliau lakukan untuk negara ini. Tapi juga, (sekali lagi) terus terang saja, kalau ningalin hutang sampai sekian trilyun rupiah untuk anak cucu kita, apakah hal tersebut tidak patut diadili? Jasa ya jasa, namun keadialan harus tetap ditegakkan. Ato… jangan-jangan betul kata Leak (wartawan Jawa Pos, pen.), bahwa sampai detik ini Soeharto masih terlalu berat untuk kita adili.

Mmmm… kalo gini mending BonX nyontoh Te’ Desi deh: “No comment!!” Males aku ngurusi politik mending kerja. Dapet uang, rekrasi gratis dan… terhindar dari politik yang sangat kotor itu.

keseharian, penghargaan

Persembahan Hati


Aku membuka email, dan …

Pengumuman Pemenang Lomba Menulis KolomKita periode 2006-2007

Selamat kepada para pemenang lomba menulis Kolomkita periode 2006-2007.

Pemenang pertama dengan hadiah sebesar satu juta rupiah (Rp.1.000.000,-) jatuh pada tulisan

Sofyan Sebagai Sofyan” karya Arki Atsema.

Tiga pemenang harapan dengan hadiah masing-masing sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah (Rp.250.000,-) jatuh pada:

Kami tambahkan satu pemenang dengan kategori penulis muda berbakat (besar hadiah Rp.100.000,-) yang jatuh kepada Stebby Julionatan atas karyanya “Kunanti Hujan di Pucuk Musim Kemarau“.

Keputusan dewan juri dan redaksi tidak dapat diganggu gugat.

Para pemenang akan kami hubungi melalui email dan hadiah untuk pemenang yang berdomisili di Indonesia akan ditransfer melalui BCA.

merasa BAHAGIA. Sangat… sangat… dan sangat bahagia. Mengalahkan kebahagiaanku ketika terpilih sebagai Kang Probolinggo 2006, finalis Raka Raki Jatim, 8 besar Duta Kopersi Jatim, ataupun sejenisnya. Akhirnya… (seperti melepas rasa mulas akibat BAB) aku mendapatkan penghargaan di bidang menulis. Dan… ga’ penting masalah hadiahnya. Bagiku, yang terpenting untuk saat ini adalah pengakuannya.


SELAMAT DATANG DI DUNIA MENULIS, BONX!!!

pariwisata, psikologi, renungan

NARSIS… (sebuah pengantar)



Namanya Agung, anak Blitar, yang tidak bisa dikatakan kawan karena belum pernah ketemu secara langsung dan hanya kenal lewat FS, berkata kepada DJ Look: “Kenapa kok anak2 duta wisata kok narsis? for example KAMU.”

Emangnya DJ Look narsis??? Emangnya anak-anak duta wisata narsis??? Emangnya aku juga narsis??? Apakah suka berfoto dan difoto bisa dikatakan narsis? Apakah suka menjadi sorotan dan diperhatikan bisa dikatakan narsis? Padahal pekerjaan DuWit (duta wisata, pen) memang seperti itu. Selalu menjadi sorotan dan incaran lensa kamera dalam acara-acara yang diadakan oleh pemerintah kota/kabupaten ketika ia bertugas. Lantas yang salah siapa kalau aku diperhatikan seperti itu? Akunya atau kameranya…? Akunya atau kacanya…? Dan dalam pengalaman pribadiku, akhirnya secara lambat laun aku mulai suka memperhatikan diriku sendiri untuk mencari jawaban mengenai pertanyaan itu. Kalau orang banyak suka memperhatikan diriku, kenapa aku tidak?!

Tapi sebenarnya seperti apa sih pengertian (yang benar tentang) narsis itu? Selama ini kita sering mendengar kata narsis, bahkan tidak jarang kita ikut menggunakannya. Namun tidak berarti bahwa semua orang yang seringkali menggunakannya tau maksudnya. Seperti dalam kasus saya, ya perkataan si Agung tadi.

Kata “narsis” berasal dari cerita Yunani, tentang seorang pemuda bernama Narcissus. Dia sangat tampan dan suka memuji dirinya sendiri. Dia sering menolak cinta banyak gadis (mmm… mungkin karena dia sukanya ga sama gadis, tapi sama janda). Dia tidak mudah tunduk pada rayuan beracun para wanita. Sampai suatu saat dia menolak cinta Echo, yang menyebabkan Echo patah hati, dan Narcissus dikutuk oleh Zeus sehingga ia jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air kolam dan mati menderita karenanya.

Sekarang ini kata narsis digunakan untuk menggambarkan orang yang terlalu suka pada diri sendiri, pemuja diri sendiri, egosentris, PD gak ketulungan dan… seperti kata Ibu Dra. Roslina Verauli, M.Psi. (alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Psikolog dari Empati Development Center, penulis buku berjudul I Was An Ugly Duckling, I Am A Beautiful Swan, dan sekarang dosen psikologi di Universitas Tarumanegara Jakarta) narsis sudah masuk dalam gangguan kejiwaan (yang sudah parah tentunya).

Narsis sendiri, kata ibu psikolog yang kerap disapa Bu Vera ini, bisa muncul pada seseorang akibat berbagai penyebab. Seperti akibat faktor kepribadian karena memang bawaan lahir (genetic). Atau bisa saja muncul karena faktor lingkungan. Misalnya saja sering mendapat perlakukan istimewa oleh orang tuanya seperti memperlakukan putri atau pangeran, padahal keadaannya ato kenyataannya biasa-biasa aja. Nah, biar jelas, Bu Vera mengungkap ciri-ciri orang yang tergolong narsis:

* Orang narsis merasa lebih penting dan besar dibanding orang lain. Contohnya, dia merasa paling hebat dalam hal prestasi, bakat, dan karier.
* Punya fantasi untuk mencapai sukses dan kekuasaan yang sangat tinggi. Walaupun hal itu mustahil untuk bisa dicapai.
* Merasa dirinya begitu unik dan beda dengan yang lainnya. Dia akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng dibanding orang lain.
* Selalu merasa butuh pengakuan yang berlebihan dari orang lain.
* Mereka yang narsis selalu berharap yang tak masuk akal untuk diperlakukan oleh orang lain. Orang yang narsis selalu ingin diperlakukan istimewa, meski dirinya sebenarnya tak istimewa.
* Narsis juga cenderung manipulatif dan selalu mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan dirinya.
* Nggak bisa berempati pada orang lain. Ya, orang seperti ini nggak akan merasa peduli dengan apa yang menimpa orang lain. Misalnya saja, bila ada temannya yang terkena musibah, orang narsis tak akan peduli.
* Selalu arogan.

Lebih lanjut Bu Vera mengatakan, kalau kita punya lima saja dari ciri-ciri tersebut di atas, berarti kita sudah tergolong narsis dan harus segera diatasi dengan cara berkonsultasi ke psikolog. Tapi kalo di bawah lima, masih tergolong kecenderungan narsis. “Biasanya nih, orang yang narsis akan sangat sulit untuk beraktivitas. Bahkan, perkembangan sosialnya juga akan terganggu. Orang yang narsis tentu nggak akan bisa bersosialisasi,” paparnya. “Karena, ia akan selalu terhambat dengan dirinya sendiri.”

Nah,, kalau sudah disertai dengan data-data seperti ini, kamu bisa menilai sendiri, apakah yang dikatakan Agung itu pantas??? Apakah duta wisata seperti DJ Look, aku atau DuWit-DuWit lainya itu narsis??? Yang bener aja penggeneralisasiannya, Bung!!!

keseharian, renungan

Bagi Ayahku, PNS adalah Segalanya


Bagi ayahku, PNS adalah segalanya. Sama seperti ketika ia menganggap bahwa uang adalah segalanya dalam kehidupan. “There are no other factors that make human happy beside money.” He says. Alasannya: Dengan jadi PNS, kerja ato enggak, ayahku bakal mendapatkan bayaran. Begitu juga dengan adanya jaminan di hari tua. (baca: uang pensiunan)

Dan aku tidak pernah setuju dengan hal itu. Bagiku kebahagiaan tidak terletak pada masalah uang semata. Maka, semakin merucinglah perdebatan kami. Menurutku, orang bodoh, tolol dan kolotlah yang berkata seperti itu. Dasar didikan generasi Orde Baru yang sukanya korupsi!!! Apakah dia tidak sadar kalau gaji yang dia terima itu berasal dari pajak rakyat?! Seharusnya, beban moral yang harus ayahku rasakan harus lebih berat ketimbang aku yang ijin ga masuk kerja karena kecapekan lembur.

Perdebatan ini awalnya hanya kesalahpahaman sederhana. Aku ga suka ketika ayakhku berkata kepada kawan kantorku (Mas Firman dan mBak Siwi) -yang datang ke rumah untuk mengambil beberapa brosur dan agendanya yang ketinggalan di mobil kantor- bahwa aku kerja. Padahal aku sudah ijin ke Bu Mien (pimpinanku di Gilang T&T, pen.) kalau aku ijin tidak masuk kantor untuk menyelesaikan beberapa tugas kuliah. Tentu saja aku tidak suka dengan jawaban ayahku tersebut. Bukankah jawaban itu bakal membuat kesalahpahaman. Kalau tidak tahu, ya sudah jawab tidak tahu, begitu menurutku. Ehh… ayahku malah nyolot dan membela dirinya. “Lha wong dudu’ pimpinanmu ae khan?! aku ae masih alasan ijin ga ngantor, terus ketemu langsung karo bos’ku, aku ga bingung. Lha wong sing mbayar dudu’ kepala kantorku!”

Benarkah pendapat seperti itu?! Apa jadinya negeri ini kalau setiap pelayan masyarakat berpersepsi seperti itu?! Tidakkkah ia sadar kalau uang gaji yang ia terima setiap bulannya berasal dari pajak rakyat?!

Di lain waktu, beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Mas Lutfi, dan ditraktir makan bakso di stan bakso miliknya di Boston (bukan nama negara bagian AS, tetapi nama sebuah restoran pujasera di kota Probolinggo, pen.). Pada kesempatan itu, aku tanyakan padanya perihal mengapa ia memilih untuk membuka stan bakso. “Bukannya saingan sudah banyak dan mereka sudah punya nama pula?” Tanyaku. “Apa yang membuat stand bakso Cak Joglo ini lebih spesial dibanding bakso bakso yang lain?” lanjutku pula. Singkat cerita, di samping keinginan luhurnya untuk membantu sesama dengan membuka kesempatan kerja, ternyata di balik itu semua ada sebuah alasan lain yang lebih “kelam”.

Ia berterus terang padaku kalau ia sebenarnya merasa down ketika dipindah dari Badan Pendataan Statistik (BPS) ke Dinas Perijinan. Karena menurutnya -dan hal ini juga aku rasakan belaku juga dengan PNS-PNS yang lain- telah terjadi kekeliruan ketika dia dipindahkan dari Badan ke Dinas. “Kenapa kok aku dipindahkan ke (Dinas) Perijinan?” Katanya. “Tapi biarlah sudah mungkin Allah punya maksud lain. Dan (kali ini sambil menarik nafas) inilah hikmahnya.” Ucapnya sambil menunjuk stand baksonya.

Well, menurutnya Badan punya prestise yang lebih tinggi ketimbang Dinas apalagi kalo dibanding Kantor. Mengapa PNS seperti Mas Lutfi dan mungkin masih banyak Mas Lutfi – Mas Lutfi yang lain di luar sana yang punya persepsi seperti itu? Bukankah sama saja?! Bukankah tugas PNS adalah melayani masyarakat dimanapun dia berada?! Ga peduli itu Badan kek, Dinas kek, ataupun Kantor. Tidakkah ia sadar kalau uang yang ia terima setiap bulannya berasal dari rakyat?!

Sudah tau namanya PNS, bahasa Madura Temor-nya civil servant, “Pelayan Masyarakat”, mustinya ya bisa menerima untuk ditempatkan dimana dan kapan saja. Bukankah sudah jadi bagian hidup, kalo kita jadi prajurit, ya harus loyalitas yang diutamakan?!

keseharian, renungan

RENUNGAN SOTO (January, 6 2008)


Rahasia kebahagiaan itu sebenarnya terletak pada…
… ketika orang-orang terdekat yakin dan percaya
bahwa merekalah yang membuat kita bahagia.
– Al Bath –

Aku marah, sekali lagi, karena Mama ga masak. Padahal kan seharusnya Mama tahu kalo sepulang Gereja seperti sekarang ini tuh aku mesti laper. Akhirnya aku kembali lagi ke kota. Beli soto di Pak Ali. Sekedar tahu saja, aku tuh dah ngidam-ngidam soto sejak 3 hari yang lalu dan ga dapet-dapet gara-gara yang jual mantu.

Ketika menikmati lezatnya soto, aku mencuri dengar pembicaraan 2 pasang ortu yang duduk di samping dan di seberangku. Mereka bercakap tentang anak-anak mereka. Sepasang ortu yang duduknya di seberangku bercerita tentang anak mereka, perempuan, yang bulan Juni nanti bakal menyelesaikan studi S2-nya di Australia. Sedang yang duduk di sebelahku, mereka bercerita tentang anak pertama mereka yang telah berkarir dan hidup mapan di Jakarta. Bencinya, anak bapak tersebut juga S2 graduate. Sedang anak keduanya masih menempuh pendidikan kedokteran di Surabaya.

Well, inikah potret kebanggaan orang tua? Kesuksesan anak-anak mereka merupakan salah satu kebanggaan mereka. Ketika mereka membicarakan keberhasilan anak-anak mereka, masing-masing wajah mereka tampak bahagia. Lalu bagaimana denganku? Apakah aku yang suka marah-marah ga jelas hanya karena makanan ini, plus ga sukses karena S1 saja belum lulus, dan belum mapan karena masih jobless, bisa membanggakan orang tuaku??!!

cinta, kehidupan, keseharian, renungan

BonX dan Literatur


24, male, single and have an ambition to get Katulistiwa Literary Award at 27. “Menulis adalah upaya untuk menjadi diri sendiri.” Mungkin kalimat itulah yang dapat saya gambarkan untuk menjelaskan diri saya dan tentang alasan kenapa saya suka menulis. Mungkin alasan lainnya adalah karena saya dilahirkan di keluarga pencerita. Mama saya, yang juga seorang guru Bahasa Indonesia, suka bercerita. Oma saya juga suka bercerita. Malah beliau termasuk pencerita yang handal. Saya ingat ketika saya masih kecil dulu, saya tak bakal dapat tidur dengan nyenyak tanpa mendengar dongeng-dongeng Oma. Dongeng tentang Anak Itik Buruk Rupa dan Kue Jahe adalah dongeng kesukaan saya.

Menulis juga membuat saya merasa berkuasa. Membuat saya selalu sebagai subjek. Sebagai Tuhan, Kreator Agung dan Penentu bagi tokoh-tokoh dalam cerita saya. Yang akhirnya membuat saya membenci aturan, norma-norma, pranata sosial dan institusi yang ada di masyarakat sebab saya merasa bahwa saya bisa membuat aturan sendiri. Kenapa saya perlu diatur dengan pranata-pranata tersebut? Hal itu berat, tapi mau bagaimana lagi? Sudah menjadi konsep hidup dengan “saya memilih dengan tidak memilih. Bahkan, setelah mendengar pendapat saya tentang pranata tersebut, salah seorang sahabat saya pernah berkata demikian: “Sebenarnya itu senjata yang bermata ganda bagi dirimu. Di satu sisi hal tersebut bisa membuatmu sukses sebagai penulis eksentrik, sedang di sisi lain kamu akan benar-benar sendirian.” Dia malanjutkan. “Sebenarnya pranata dibuat bukan untuk mengukung kita, melainkan menghormati hak-hak kita dan juga hak-hak orang lain yang senantiasa bersinggungan. Dan dalam kehidupan ini, semakin dewasa kita, maka kita akan semakin diikat dengan berbagai pranata.”

Aturan… Norma… Pranata… Institusi…
Saya terlanjur membenci institusi, termasuk institusi pernikahan yang selalu diagung-agungkan oleh sebagian orang. Saya jadi heran, kenapa menikah selalu menjadi titik kewajaran banyak manusia. Sebagai titik netral. Titik nol. Dan tidak menikah selalu bernilai -1. Malah bisa jadi menikah dengan banyak istri bernilah +2. Lalu bagaimanakah dengan menikah dengan banyak suami? Apakah masih bernilai sama atau malah turun nilainya menjadi -2, dibawah nilai menikah tapi tidak memiliki anak alias mandul yang juga bernilai -1?

Menulis adalah sebuah filosofi. Menulis adalah pandangan hidup. Maka ketika Rene Decrates berkata Cogito ego sum, saya akan berkata Opto ego sum. Menulislah… maka kau akan ada.

keseharian, politik

PESTA TERAKBAR di AWAL TAHUN


BENAR mungkin kata sebuah ungkapan: “Lek wong tuo’ne joyo kuwi seng enak anak’ne. Nadyan, laen critane karo lek seng kepenak urip’e iku anak’ne, wong tuo’ne durung karuan penak.” (wuzzz… mudah-mudahan aku ga menjadi anak yang tidak berbakti pada orang tua).

Kenapa saya berkata begitu… dan sekaligus membenarkan ungkapan tersebut?? Well, gimana nggak, orang hari ini aku menghadiri pesta pernikahan putra Pak Bandyk Sutrisno (Sekdakot Probolinggo) yang wuahhh bener. Bayangkan saja, gedung Widya Harja yang sudah megah itu, dibuat semakin megah dengan balutan kain berwarna merah dan emas yang senada dengan pelaminan sang mempelai (maklum Pak Badyk kan dari PDIP. hehehehe). Belum lagi pakaian pengantin yang mereka kenakan, yang ketika aku tanyakan ke mBak Indah, sang desaingner, aku sempat terkaget-kaget dengan harganya. “Cuma untuk dipake sehari aja!!!” begitu pikirku. “Gimana lagi soal makanan yach?!” Soalnya tamu ga mungkin kecewa dengan makanan yang disediakan. Sebab Sonokembang-Surabaya’lah yang dipakai untuk ngurusi cateringnya. “Buzzzzyeeeet…. Tamu yang hadir buanyak banget.” Seakan seluruh penduduk kota Probolinggo tumplek buek ke ruangan ini. Aku aja yang ketika itu dapet tugas nytuting sampe kaki pada pegel. Masa… ada acara manten dari jam 5 sore sampe jam 9 malem kok ga selesai-selesai. “Gimana lagi dengan amplop bowoannya yach?! Pak Wali ngasih berapa yach?” Belum lagi dari tamu-tamu VIP yang lain. Mangkannya ternyata ga enak-enak jadi penjabat, meski statusnya anak pejabat. Hehehehe…

Oia, sempat aku tanyakan pula ke sumber yang dapat dipercaya tentang budget Pak Bandyk untuk mengadakan pesta ini. Katanya, sekitar 500juta terserap habis untuk mengadakan pesta perkawinan semeriah itu. Weleh…weleh… kalo aku, dapet dari mana tuh uang? Dadi TL sampe ususku lurus pun ga bakalan iso. Untung bokap bukan pejabat dan aku ga bakalan mengalami siksaan semacam itu. (siksaan dadi manten seng rebyek, kesel lan repot, pen.)

Namun…. diatas itu semua, salut buat Mz. Bayu. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohma. Amien….

kehidupan, keseharian, renungan

after RESOLUTION


Dah baca my resolution kan?! Nah… tulisan ini adalah lanjutannya.

Tahun ini aku melewati malam pergantian tahun di rumah VodKa dengan membagi sebatang coklat “SilverQueen” menjadi 2 bagian yang sama besar. Tahun ini aku melewati malam pergantian tahun dengan balutan suasana malam yang sunyi, jauh dari keramaian konvoi motor dan bingar suara musik disko yang menghentak telinga. Tahun ini aku melewati malam pergantian tahun dengan oskestra alam berupa kung-kung katak dan rintik hujan sisa badai berapa jam yang lalu sebagai ganti petasan dan kembang api.

Well, kalian pastinya bertanya-tanya: Lho tahun baruan kok ke sana, BonX? Tahun baruan kok malah milih tempat yang sepi? Seperti kata Mas Ikhwan – GRANAT, yang malam itu mengajakku menikmati hiburan di Brandys cafe “Puter balik wes. Tahun baruan ga malah ke timur kok malah ke barat?” Sebab saat itu saya sudah berada di dalam bis menuju Tanggul, Jember.

Memang berbeda. Suasana tahun baru yang kulewati kali ini memang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Alasannya?! Pertama, karena VodKa memaksaku. Bahkan sampai menit-menit terakhir menjelang keberangkatanku ke gereja untuk melaksanakan Ibadah Tutup Tahun, dia menelponku dan berkata dengan sedikit mengancam. “Lek, awas koen. Lek awakmu ga tahun baruan nang kene, aku ga bakalan nyopo karo awakmu setahun.” (Tapi jujur nih… yang membuat aku kesana bukan karena aku takut dengan ancamanmu, Vod. Ga enak hati aja. Soalnya berkali-kali janji mau berkunjung ke sana tetapi tidak pernah tak tepati. Hehehe… maaf ya, Vod.) Kedua, karena guncangan krisis ekonomi yang belum reda, panasnya panggung politik tanah air, bergagai kecelakaan transportasi publik, isu pemanasan global dan bencana alam yang tak berkesudahan, memang sedikit banyak mempengaruhiku, secara personal, untuk melewati tahun baru kali ini dengan lebih banyak beriktiar sebagai ganti pesta gila-gilaan pemuja surga dunia yang sebenarnya hanyalah pengulangan kehidupan yang tak henti berputar bak roda pedati. (Fuih… alasan yang kedua ini kok panjang amat ya?! Aku sendiri aja sampe ga bisa bernafas.)

Tapi… di balik itu semua, apakah makna tahun baru bagi diriku pribadi?
Terus terang aku sebenarnya bukan termasuk seseorang yang menganggap bahwa proses pergantian tahun adalah momen yang spesial. Bagiku, proses pergantian tahun tak ubahnya seperti sebuah sekat yang membatasi antara ruang tamu dan ruang keluarga di rumahku. Lewat sekat di ruang keluarga itu, aku bisa melihat bagaimana keadaan ruang tamuku sehabis aku menerima tamu-tamuku tadi pagi. Apakah kenangan yang ditinggalkan oleh tamu-tamuku itu bisa menambah semarak dan kehangatan di ruang itu atau malah menjadi dingin karena yang datang pagi ini adalah kolektor penagih hutang. Hehehe…. Tahun baru dalam prospektifku tak ubahnya seperti sekat yang mau ga mau, karena sudah menjadi tradisi, memaksaku diam sejenak, menoleh ke belakang dan melihat apa saja yang sudah aku lakukan di sepanjang 12 bulan kebelakang. Tahun baru bagiku, seperti fajar yang menyekat malam dan siang. Namun kali ini sekatnya tidak berjalan dua arah, dimana aku bisa putar kembali dan berjalan bolak-balik antara ruang tamu dan ruang keluarga dan membetulkan ketidakberesan yang terjadi di sana. Sebab kali ini kita melibatkan “waktu” dalam pembicaraan kita.

Aku jadi teringat perkataan Archilles dalam Illiad:
Kematian manusia adalah sesuatu yang membuat iri para tuhan. Tak seperti tuhan-tuhan yang imortal, manusia yang dapat mati memiliki WAKTU untuk dicintai lebih dari waktu kapan pun yang pernah ada di dunia. Dan, setiap manusia, tak kan bisa kembali ke waktu tersebut.

Ya akhirnya…semoga tahun baru 2008 ini kita dapat berbuat yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Lihatlah… tuhan aja sampe iri sama kita, padahal yang memberi kita batasan kehidupan dengan waktu kan juga dia. Wes ta lah… orep iku pancen aneh, rek.

keseharian

Ucapan Natal dan Tahun Baru 2008 (sebuah balasan kolektif)


makasih atas ucapan Natal dan Tahun BAru yang aku terima dari:

Ucapan nAtaL…

1. RaNie KY’07. Hadiah darai Santa tahun ini cuma kaos kaki buntut. Lo mau?! Tuh ambil aja.
2. Agus Wina. Makasih Kang Agus. Gimana nih bisnis wedding plannernya untuk akhir tahun ini?
3. Rinto DuWit Blitar. Hey… BCL!!! Masih inget gw lo?!
4. Dini (eks SPG V-Club). Gimana nih kuliahnya? Moga damai Natal menyetaimu juga.
5. Madam Affan. Thx yo, Kang. PKY ga bakalan rame dan seru tanpa kehadiran dirimu.
6. Jajalun. I have no words for diz guy. Thank yo, Bro.
7. Angga Arya. Ko ga ada yang “from mouth to mouth”? Padahal aku paling suka bagian itu.
8. Anna Maria. Sama-sama… aku juga berterima kasih karena kamu mau jadi sahabat baik aku yang selalu ngingetin aku akan segala berkat Tuhan Yesus yang mengalir dalam kehidupanku.
9. Me (my ex-girlfriend). Gimana kabar Medan, Me? Ga ke Probolinggo tah? Ga kangen neh ma, Abang?
10. Ichsan. Kok sedikit banget ucapane? Anyway, thank you.
11. MimomQ. Makasih, Ma. BonX janji bakal belajar lebih sabar mulai detik ini. Doakan BonX ya…
12. De’ Ayu. Makasih, De’. Salam buat Bun2. Ntar Kang e-BonX main2 ksana deh.
13. VodKa. Thank you, Beibh!!!! Beibhh… Beibhh…Beibhh… pale lu peyang.
14. Galang KY’07. Makasih. Oia, aku suka lho kata2 bijak yang sering kamu kirimkan.
15. Emak Yeti. Mizz you muach, Mak…
16. Danu Kakang07. Makasih.
17. PelloR. (Yuk Kota Prolinx ‘06). Kan aku dah bilang ke kamu Ndrien: Kal aku ga bisa jadi lilin yang memancarkan cahaya, aku bakal jadi cermin yang merefleksikan cahaya.
18. AcH. Emangnya ada kesalapahaman apa seh, AcH???
19. ULLiL PPAP. Belum ada kabar apa-apa tuh tentang panitia lomba.
20. Cuplik. Lo masih inget, Plik, sama ambisi2 gw?! Hebat…. Oia, salam ya buat suami dan anakmu. Aku jadi tersanjung banget pas tahu kalo hadiah tulisanku untuk perkawinanmu itu ternyata dibingkai sama suamimu.
21. Asta Dewanti. Suwun yo, Lek. Mengko… kapan2… kene ngacor maneh nang Probolinggo yo!
22. AwanBumi. Aku janji bakal selalu menjadi gajah kecil kesayanganmu. ]

ucapan TaHun BarU…

23. mBak Nana. Semoga pelayananmu diberkatiNya.
24. Jajalun. Sekali lagi… terima kasih banyak. Met ultah juga ya…
25. Gilang. Gw ga butuh kaleidoskopmu. Gw butuh traktirannya: Kue Terang Bulan. Ultah juga kan?!
26. Galang KY’07. Let’s work hand in hand!
27. Denny KY’07. Ssssttt… jangan bilang-bilang rahasiaku ya!
28. Boneka Jepang. Ditanyain nama kok malah jawab: yang suka boker?? Emang gw jambang apa?!
29. Runi Kab. Malang. I will fly into your heart.
30. Dantonia. Horee… Met taon baru juga.
31. Rahmad UPTD DisPend. Terima kasih. Well, gimana nih tournya ke Lamongan dan Batu kemarin?
32. Me. We have good chapter in 2008… maksudnya?! Ga sama aku lagi kan?!
33. PelloR. Terimakasih.
34. Asta Dewanti. Ga tumbas BH maneng, War?
35. DJ LooK. Doain aku cepet lulus ya…
36. Angga Arya. Positif?! Hamil maksudnya?!
37. AcH. I really dun nu wat 2 say…

makasih ya atas ucapan kalian. )