berita, budaya, buku, pendidikan, politik, renungan, sejarah

BABAK BARU MEMBACA


Oleh: Stebby Julionatan*)

 

Kurasa membaca tak hanya berarti duduk menghadapi buku-buku, tapi juga peka terhadap keadaan. Ya, bagi saya, sedikitnya ada 3 level atau tingkatan dalam membaca. Yakni, membaca tulisan (itu yang paling primitif), membaca konteks, dan membaca makna. Dan… banyak orang justru terperangkap pada yang pertama dan kedua.

Ya, riuh kasus penyitaan buku kawan-kawan Vespa Literasi oleh Polsek Kraksaan kini telah mencapai babak baru. Adanya campur tangan MUI Kabupaten Probolinggo dalam kasus ini dinilai oleh banyak pegiat literasi sebagai “kemunduran”. Bahkan Muhammad Al Fayyadl, pengamat literasi dari Kabupaten Probolinggo dalam unggahannya facebooknya menyebut bahwa baru kali ini urusan “perbukuan kiri” jadi urusan MUI. Apakah sebentar lagi buku-buku bacaan akan diberi label halal haram juga?

Ramai diberitakan sebelumnya bahwa dua mahasiswa di Kab. Probolinggo – Jawa Timur ditangkap polisi lantaran membawa buku biografi mantan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit. Mahasiswa tersebut diketahui bernama Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25) yang merupakan pegiat di komunitas Vespa Literasi, komunitas yang menginisiasi lapak baca gratis setiap Sabtu malam di Alun-alun Kraksaan.

Sabtu yang nahas, 27 Juli 2019 malam, sekitar pukul 21.00 WIB hingga 23.40 mereka “diamankan” oleh pihak kepolisian gegara memjembreng 4 buku bertema kiri. Buku-buku yang disita dari kedua kawan saya tersebut berjudul DN. Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara; DN. Aidit, Sebuah Biografi Ringkas; Soekarno, Marxisme dan Leninisme; dan Menempuh Djalan Rakyat.

Saya teriak. Ya, saya ingat ketika dulu rame-rame kasus goyang ngebor Inul,  Ayu Utami berkata, “Dan pantat Inul tidak akan meruntuhkan sendi-sendi bangsa.” Nah, di detik tersebut pun saya masih meyakini bahwa buku, apapun itu, adalah alat untuk memperjuangkan intelektualitas. Bagaimana intelektualitas diuji jika bukunya diberangus? Bukankah buku-buku yang disita adalah buku-buku ber-ISBN dan layak edar?

Tak hanya saya, viralnya kejadian tersebut pun membuat tokoh-tokoh nasional seperti Najwa Shihab dan sosiolog Ariel Heryanto geram.

Duta Baca Nasional Najwa Shihab dalam instagramnya menyebut bahwa pelarangan buku adalah kemubaziran sempurna. Sementara itu, sosiolog Ariel Heryanto yang saat ini tengah bermukim di Australia untuk melanjutkan studinya menyindir bahwa di Probolinggo masih ada waktu Indonesia bagian Orde baru.

“Di sana (ternyata) masih tahun 1966,” cuit Ariel. Ya, kita tahu, bahwa lewat keputusan Mahkamah Konstitusi 2010, negara memang telah jelas mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku tanpa izin peradilan.

Sebagai pegiat literasi di kota yang sama –meski beda wilayah administatif, lewat unggahan komentar pesohor-pesohor negeri tersebut, akun pribadi maupun media komunikasi saya jadi tak sepi oleh beragam pertanyaan yang masuk. Mereka bertanya, “Apa tanggapan saya mengenai kejadian tersebut?”

Saya bisa saja memaki bahwa aparat dan MUI itu goblok, misalnya. Tapi, kejadian serupa di Makassar, perihal sekelompok masyarakat yang menamakan diri mereka Brigade Muslim Indonesia (BMI) yang berselang hanya seminggu (Sabtu, 3 Agustus 2019) setelah kejadian yang menimpa kawan-kawan Vespa Literasi membuat saya berpikir. Ya, di titik tersebut saya mulai berpikir, “Bagaimana jika yang salah sebenarnya bukan mereka, tapi saya?”

Maksud saya, bukan utuh menjadi kesalahan mereka –kepolisian, MUI, atau ormas penyita buku tersebut- tapi… ada “kesalahan” kita sebagai penggerak literasi. Ya, bukankah dari pernyataan polisi di hari “pengamanan” itu, mereka mengatakan bahwa ada masyarakat yang merasa keberatan… dan melapor.

Ingatan saya lantas melintas ratusan tahun yang lalu. Tepatnya saat Socrates masih hidup dan mengajarkan ilmu filsafat kepada masyarakat Yunani di pasar-pasar. Ya, hidup guru Plato ini berakhir mengenaskan karena ia diharuskan meminum racun sebagai bentuk hukuman mati atas pilihannya mengajarkan ilmu yang “tak renyah” itu kepada kaum awam.

Ya, meski benar (baca: mengajarkan kebenaran), dari kisah Socrates ini kita belajar bahwa segala sesuatu itu butuh kelaikan publik. Ada hal-hal normatif dan kesadaran ruang yang harus kita penuhi jika kita ingin “mendidik” masyarakat. Ya, gampangnya, meski ada yang dinamakan hak asasi manusia (HAM) atau tubuh kita seseksi kontestan Miss Universe, kita tidak mungkin kan menggunakan swimsuit ketika bertamu ke tetangga?

Terlampau jauh dari kehidupan Socrates, mungkin kita masih mengingat kasus yang menjerat dosen filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, saat di acara Indonesian Lawyers Club (ILC) ia mengatakan bahwa kitab suci itu fiksi. Ya, berbagai tanggapan lantas muncul di masyarakat bahkan hampir menyeretnya pada pasal karet penistaan agama.

Intinya, sebagai dosen filsafat, Rocky Gerung bisa mengatakan “kefiksian” itu di kelas, tapi tidak di program ILC atau kepada masyarakat awam yang struktur berpikirnya belum dipersiapkan untuk mengunyah filsafat.

Ya, saya merasa, kini kasus ini bukan lagi terletak pada persoalan “membaca kok dilarang?” semata, melainkan bagaimana tugas kita sebagai penggerak literasi untuk tidak hanya mendekatkan akses bacaan pada masyarakat, tetapi juga menyiapkan “pencernaan” mereka agar mampu memamah buku dengan lebih baik melalui ruang-ruang diskusi.

Pikir saya, di ruang-ruang diskusi tersebut, ketika kita mampu menyiapkan pola pikir masyarakat yang belum pernah sekali pun membaca salah satu dari keempat buku yang disita itu, bahwa sejarah perjalanan bangsa kita juga tak terlepas dari dipakainya ideologi-ideologi lain seperti sosialis komunis dan liberal –sebelum pemimpin-pemimpin bangsa kita meyakini bahwa keduanya tidak cocok dengan kepribadian bangsa, tentunya hal-hal “menyedihkan” semacam itu tidak perlu terjadi.

Kembali ke soal membaca, kita kan tidak bisa terus-terusan mencari kambing hitam perihal siapa yang salah dalam kasus-kasus semacam ini. Sebagai penggerak literasi, saya rasa, yang lebih perlu kita lakukan untuk saat ini adalah “terus bergerak”. Terus menginspirasi masyarakat untuk melek baca. Ya, kembali ke soal tahapan-tahapan dalam membaca, bagi saya yang lebih penting adalah terus menyiapkan masyarakat untuk naik kelas. Untuk naik tingkat. Menyapkan mereka untuk tidak hanya mampu membaca tulisan, tapi juga mampu membaca konteks, dan akhirnya, mereka mampu membaca makna. Maka hilanglah seluruh kegagapan membaca itu. Ya, itulah harap saya!

 

Probolinggo, 3 Juli 2018.

 

*) penulis adalah founder Komunitas Menulis (Komunlis) dan penerima Anugerah Kesusastraan 2019 dari Gubernur Jawa Timur.

Leave a comment