budaya, cinta, hobby, motivasi, penghargaan, sastra

OMAH PADMA DAN ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE DESA


Oleh: Stebby Julionatan*)

 

Kata “desa” meski identik dengan tempat yang nyaman dan asri untuk ditinggali, tapi selalu disejajarkan dengan kata “tertinggal’. Dengan sesuatu yang usang, tidak modern, miskin dan bodoh. Rasa-rasanya, kalau Anda tinggal di desa, Anda tidak berhak untuk mengakses kemajuan, baik secara ekonomi, teknologi maupun pendidikan.

Tentunya hal tersebut tidak berlaku di Omah Padma. Ya, omah (baca: rumah) kreatif yang didirikan pasangan sastrawan Wina Bojonegoro dan seniman lukis Yoes Wibowo di Desa Capang, Kab. Pasuruan ini seakan menjawab kegelisahan makhluk-makhluk intelektual macam saya yang senantiasa haus akan ilmu, tetapi tetap ingin tinggal di lingkungan yang nyaman lagi asri.

Meski tinggal di desa, Wina dan Yoes menjamin penghuninya tidak akan ketinggalan zaman.Ya, sebagai makhluk yang berpikir, atau homo sapiens, apa sih yang rasa-rasanya tidak bisa kita temukan di Omah Padma? Sinyal HP, jaringan internet yang lancar, dan catu daya listrik. Ya, bukankah itu kebutuhan dasar yang diperlukan oleh manusia milenial macam saya? Tapi tak berhenti di sana. Kehausan saya akan pelatihan pengembangan diri dan diskusi-diskusi cerdas pun difasilitasinya.

Mulai dari diskusi budaya, pelatihan melukis, menulis, bahasa Inggris, pelatihan membuat jamu, tempe dan pernak-pernik, susur sungai, edukasi lingkungan bahkan pengolahan limbah plastik yang akhir-akhir ini jadi tren di Indonesia pun, semuanya bisa kita dapatkan di omah ini.

Kalau boleh saya ulangi, ini bukan pelatihan dan diskusi yang “receh” lho, tapi pelatihan dan diskusi yang benar-benar berkualitas dan diisi oleh narasumber yang kompeten di bidangnya. Sebagai contoh, Minggu (21/7) lalu, di Omah Padma ini, saya mengikuti pelatihan menulis esai yang menghadirkan redaktur senior Jawa Pos, Doan Widhiandono. Ya, pasangan suami-istri ini benar-benar membuat rumahnya bak sorga bagi saya dan pengetahuan.

Sepertinya tidak hanya saya, “laron kota” yang tertarik pada kilau lampu yang ditawarkan Omah Padma. Tercatat, di minggu pagi itu, Direktur House of Sampoerna, Redaktur Radar Semarang, co-founder Masyarakat Anti Hoax dan pendiri gerakan Satu Juta Anak Cerdas Membaca, bloger acara jalan-jalan dan para guru perempuan dari kota-kota seperti Pandaan, Mojokerto dan Surabaya pun rela menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk datang ke omah yang terletak di Dusun Semambung, Kab. Pasuruan ini hanya demi belajar “menjadi manusia” dan menikmati pesona “ndeso” yang ditawarkan Wina dan sang suami.

Bagaimana ini terjadi?

Wina mengaku profesinya sebagai penulis dan sebagai orang yang ingin kembali ke desa mengawali langkahnya dan sang suami mendirikan Omah Padma. Ia pun tak menampik bila dikatakan semula dirinya pun terganjal dengan stigma “desa” yang terlanjur melekat di masyarakat. “Saya tidak ingin itu terjadi. Saya tidak ingin, jika desa senantiasa diidentikkan dengan ketertinggalan, kemelaratan dan kebodohan. Saya ingin buktikan itu,” tegasnya.

Pada saya, dikisahkannya tahun-tahun pertama yang penuh kerja keras itu. Persiapan fisik tentu menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Selain pembangunan rumah utama yang bergaya terbuka –agar siapapun bisa masuk dan tak merasa sungkan, Omah Padma pun menyediakan pendopo di halaman yang dapat menampung berbagai kegiatan.

Strukturnya tidak segi empat seperti kebanyakan pendopo yang kita kenal, tapi, seperti yang saya katakan tadi, heksagonal. Wina dan suami pun membangun barak di sisi timur, tempat tamu-tamunya yang dari luar kota dapat bermalam dan menghabiskan waktu di tempat itu.

Ia pun tidak menarik biaya sepeser pun kepada tamu-tamunya yang bermalam, hanya saja, ia menyarakan tamu-tamu tersebut membeli kebutuhannya di masyarakat sekitarm -seperti sarapan, cemilan dan “printilan kebutuhan MCK” agar tercipta ruang ekonomi bagi mereka.

Uhm, sebagai catatan, tapi Wina tidak menyediakan musalah. Bukan berarti tak penting, namun baginya, tamu-tamunya yang berasal dari kota itu perlu untuk srawung, ikut berbaur dengan warga Semambung di masjid yang terletak hanya 200 meter dari Omah Padma tersebut. “Turut memakmurkan masjid,” demikianlah yang diharapkan Wina.

Lalu, langkah selanjutnya untuk mengundang lebih banyak laron-laron kota seperti kami, foto-foto artistik Omah Padma pun diunggahnya di media sosial. Bahkan, Omah Padma memiliki akun khusus. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk membuat kawan-kawannya yang selama ini tinggal di kota dan dibuat mabok oleh polusi dan kemacetan tertarik berkunjung ke Omah Padma.

Tak hanya yang wujud, foto-foto kegiatan dan pelatihan yang diadakan di sana pun diunggahnya di akun khusus tersebut. Ya, di luar kedekatan kami selaiknya orang tua dan anak, saya sendiri tertarik mengunjungi Omah Padma karena lukisan-lukisan kece Pakdhe Yoes di ruang utama rumah induk.

Ya, dalam pandangan saya, siapakah yang tidak tertarik untuk berfoto di dalam rumah yang seluruh bagian dindingnya dipenuhi oleh karya lukis yang artistik? Bahkan, setelah saya benar-benar dapat mengunjungi rumah itu, saya dibuat misuh-misuh dengan kamar mandinya yang sesuai dengan gambaran cita-cita kamar mandi yang ingin saya miliki kelak. Ya, sebuah kamar mandi dengan atap terbuka yang penuh inspirasi dimana kita bisa memandang biru langit dan kerlip bintang malam.

Wina dan Yoes membuat tempat yang dulunya biasa saja menjadi “tempat wajib” bagi para instagramer untuk dikunjungi lewat unggahan foto-foto mereka di media sosial. Daya tarik visual, itulah yang juga dimainkan Wina dan sang suami untuk memancing manusia-manusia milenial macam saya. Dan memang, saya tak kecewa, sebab selain dua wujud yang saya jelaskan di atas, tempat ini pun membangun dan mengelola yang tanwujud.

Agenda-agenda budaya mereka rancang. Ya, jauh sebelum saya mengikuti pelatihan menulis esai-nya Mas Doan di tempat ini, saya telah dua kali mengikuti acara Jagong Sastra yang diadakan oleh Wina Bojonegoro di Omah Padma.

Ya, meski sepemahaman saya tak semua masyarakat Semambung paham apa itu sastra atau menulis, tapi paling tidak, keterlibatan mereka untuk mempersiapkan acara-acara tersebut berfungsi sebagai batu padas yang mengasah jam terbang mereka untuk menghadapi serbuan orang-orang kota. Wina membuat mereka tuan di tanahnya sendiri. Melibatkan mereka sebagai guide, tukang masak, juru foto bahkan event organizer dari acara telusur sungai.

Di akhir, mari kita kembali di pertanyaan pertama tadi: Apakah desa identik dengan ketertinggalan? Apakah desa layak untuk ditinggali? Apakah desa membuat kita jauh dari kemajuan –baik secara sosial dan ekonomi? Jawab saya, tidak. Ya melihat apa yang dilakukan Wina dan Yoes, di tangan mereka Semambung tak lagi dapat diartikan sebagai desa, lebih-lebih sebagai “desa yang tertinggal”, melainkan berdaya guna.

Ya, Omah Padma di Semambung adalah penopang kegiatan ekonomi, kultural dan edukasi masyarakat, yang tak hanya bagi masyarakat Pasuruan dan sekitarnya, tapi Jawa Timur secara umum. Terima kasih, Omah Padma! Selalulah tumbuh dan menginspirasi!

Probolinggo, 23 Agustus 2019.

 

*) penulis kelahiran Probolinggo, penyuka kampung dan jalan-jalan, penerima Jatim Harmoni 2019. Bukunya yang akan terbit berjudul Rumah Ilalang.

 

Leave a comment