cinta tanah air, keseharian, renungan, Un-CUTegoRizeT

Merdeka Untuk Apa Saja….


Apakah yang paling menarik dari sebuah Perayaan Kemerdekaan? Bilangan 1 yang kemudian diikuti dengan angka 7? Diskon yang menjamur? Naskah-naskah Pidato yang normatif? Lomba di pelataran rumah? Atau mungkin penggunaan kata “Merdeka” kita yang sebenarnya harus dimaknai kembali?

Pada Minggu (18/8) malam lalu, Simposium secara perdana menyelenggarakan dan menggelar “Opini Mini” edisi ketiga dalam bentuk Mimbar Bebas yang bertempat di Simposium Coffee & Literasi. Opini Mini #3 memuat Topik mengenai “Merdeka Untuk?”, dimana setiap orang yang hadir bisa memberikan opini nya secara terbuka mengenai hal tersebut, yang harapannya berguna untuk saling mengisi mengenai definisi-definisi setiap orang tentang arti Merdeka dan Merdeka Untuk, selain itu Simposium berharap melalui Mimbar Bebas “Opini Mini #3”, masyarakat Probolinggo mempunyai wadah untuk Speak Up tanpa membutuhkan serentetan label-label.

Mimbar Bebas “Opini Mini #3” dibuka oleh moderator kami (Ibrahim & Reza) dengan perkenalan mengenai apa itu “Opini Mini”, mengingat bahwasanya Opini Mini edisi ketiga adalah yang pertama kali dilakukan dalam ruang publik. Dilanjutkan dengan penjelasan mengenai topik yang diusung pada Opini Mini #3 yaitu “Merdeka Untuk?”. Lalu dilanjutkan dengan mempersilahkan para audience untuk memberikan dan melantangkan Opini nya.

Pembicara — Stebby (Penulis Buku)

Beliau sempat protes karena moderator lebih komunikatif saat menutup acara ketimbang membersamai beliau beropini sebelumnya. Bukan apa-apa, moderator cukup sungkan untuk memotong pembicaraan orang sekelas Mas Stebby, penulis yang sudah melahirkan hampir 5 buah buku selama beliau hidup. Salah satu penulis paling produktif asli Probolinggo yang kami kenal. Selain memang ada alasan lain bahwa beliau kalau sudah ngomong tidak bisa berhenti, heuheu. Buktinya kalau dihitung-hitung, hampir 20 menit beliau bercerita. Jauh lebih lama ketimbang orang-orang sebelumnya. Terdapat 2 poin besar yang beliau sampaikan yaitu kemerdekaan menurut perannya masing-masing dan keresahaan disaat beliau masih kecil.

Mas Stebby mengemukakan bahwa Manusia, PNS, dan Seniman merupakan peran yang beliau jalani sehari-hari. Setiap peran memiliki sudut pandang masing-masing dalam memaknai kemerdekaan. Terdapat pembahasan yang cukup menarik dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hal tersebut merupakan salah satu contoh dari praktik budaya birokrasi di Indonesia yang perlu dibenahi. Pemaknaan “Merdeka untuk” bagi seorang PNS adalah merdeka untuk bekerja tanpa menjilat atasan. Pola pikir “asal bapak senang” berdampak terhadap berbagai macam aspek terutama kualitas hasil kerja. Tidak sedikit orang-orang yang tidak bekerja sesuai kompetensi dan cenderung mengusahakan seadanya hanya untuk kepentingan pribadi. Padahal aparatur sipil negara memiliki peran sebagai orang-orang yang mengejawantahkan dirinya kepada negara, bukan bapak-bapak di singgasana. Betapa integritasi itu sangat diperlukan, bukan hanya bagi aparatur sipil negara tapi bagi kita semua, iya kita semua.

Kemudian beliau menyampaikan berbagai macam keresahaan di masa kecilnya. Mulai dari Tuhan dan agama yang hendak beliau pilih, sampai kemerdekaan untuk melajang sampai nanti~. Beliau dilahirkan dari kedua orang tua yang memeluk agama yang berbeda. Kalau saya bisa bilang, Mas Stebby adalah orang yang bebas dari tuduhan “agamamu adalah pemberian dari orang tuamu”. Perdebatan tentang kebenaran dalam agama yang dilakukan orang-orang di halaman tempat peribadatan dan kolom-kolom komentar dilaman media sosial terjadi didalam batin beliau. Tidak ada orang yang tahu. Sehingga konflik batin tersebut, suatu waktu membawa beliau pada “kemerdekaan untuk” memeluk agama tanpa paksaan dari orang lain.

Ditengah-tengah pernyataan orang bahwa lelaki itu selalu maskulin dan perempuan itu selalu feminim, Mas Stebby mengemukakan bahwa karakter laki-laki dan perempuan tidak seharusnya ditentukan dari mayoritas stigma yang berkembang dimasyarakat. Laki-laki tidak boleh menangis dan haram untuk bersikap sangat lembut merupakan pola pikir yang harus cepat-cepat dibuang. Pendapat mas Stebby hampir sama dengan pesan yang kami tangkap pada Film Stubber yang rilis beberapa waktu lalu. Konflik yang terjadi antara Detective Vic, seorang polisi gagah yang diperankan oleh Dave Bautista dan Stu, seorang supir grab baper-an yang diperankan Kumail Nanjiani membuat kita cukup untuk mendefinisikan lagi apa itu arti laki-laki.

Diakhir sesi nggedabrus, Mas Stebby ikut mengisi kekosongan rak buku Simsi. Beliau memberikan 3 buku karangannya yang berjudul LAN (2011), Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali (2012), Di Kota Tuhan (2018) dengan harapan semua orang yang ngopi di kedai kami dapat merdeka untuk membaca bukunya tanpa harus membeli.

Probolinggo, 23/8/2019

-Simsi

 

baca selengkapnya artikel ini di >>> https://medium.com/@simposiumliterasi/opini-mini-3-merdeka-untuk-2a218fbdf577

Leave a comment