budaya, buku, hobby, pendidikan, sastra, sejarah

98 Kilometer *)


MINIMNYA akses kepada bacaan adalah salah satu alasan minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Ingatan saya pun langsung melayang pada pernyataan Windy Ariestanty dan Irwan Bajang pada Sabtu (27/7) di Kota Malang, Jawa Timur. Kala itu Windy dan Irwan dikerumuni awak media yang ingin tahu alasan mereka menginisiatori Patjar Merah, festival literasi dan pasar buku keliling.

”Minat baca orang Indonesia rendah itu tidak terbukti dari setiap agenda yang kami kerjakan. Barangkali yang menjadi masalah itu hanya akses literasinya yang tidak merata. Toh, ketika kami buka pada hari pertama, 3.600 orang datang dan rata-rata dari mereka adalah anak muda,” tutur Windy.

Bagaimana tidak, ranking World’s Most Literate Nation yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 tersebut menempatkan posisi Indonesia hanya satu setrip di atas Botswana. Fakta itu menyadarkan sekaligus menyindir keberadaan saya sebagai salah satu penggiat literasi di Probolinggo.

Apa yang salah, ya? Benarkah soal akses literasi seperti kata Windy? Atau sebenarnya memang faktor internal individunya? Dan, bisakah faktor personal itu dipancing dengan acara-acara menarik macam Patjar Merah? Berbagai pertanyaan itu bergulat dalam benak saya.

Untuk intermeso, saya tinggal di kaki Gunung Bromo. Kota yang dikenal oleh masyarakat Jawa Timur, dan mungkin Indonesia, dengan mangga manalaginya. Sebuah kota yang terletak hanya 98 kilometer arah timur Kota Malang, tempat kali kedua festival Patjar Merah dilangsungkan pada 27 Juli–4 Agustus 2019 di eks gedung Bioskop Kelud.

Jarak itu kira-kira sama jika saya ingin bepergian ke ibu kota provinsi, Surabaya. Atau kalau saya ingin mendapatkan suasana akademis kampus dan perkotaan dalam satu paket –tapi saya malas mengurai macet– di Jember. Meski hanya berjarak 98 kilometer dari tiga kota tersebut, saya menyadari, yang dikatakan Windy dan Irwan sebelumnya serupa kata ”amin” bagi kota kelahiran saya, Probolinggo.

Ya, kami tak memiliki akses selaiknya tiga kota besar tersebut dalam hal bacaan. Merananya, hal tersebut masih ditambah lagi dengan ketiadaan kampus-kampus negeri atau swasta bergengsi di kota kami. Kegiatan-kegiatan literasi kerap dinilai buang-buang waktu dan kurang bermanfaat, bahkan dianggap melakukan gerakan subversif melawan pemerintah seperti yang dialami kawan-kawan saya dari Vespa Literasi di hari yang sama dengan hari pembukaan Patjar Merah edisi Kota Malang kemarin. Cukup mencengangkan, bukan?

Ya, secara pribadi, bisa dikatakan kehausan saya akan bacaan tidaklah mudah dipuaskan oleh ketersediaan buku-buku yang ada di perpustakaan atau toko-toko buku di kota kelahiran saya ini.

Meski sejak satu dasawarsa lalu salah satu pemain toko buku besar konvensional hadir di kota saya, kehadirannya tak lantas memuaskan dahaga tersebut. Saya justru menjadi pelanggan setia toko-toko buku online yang berseliweran di berbagai platform media sosial semacam Facebook atau Instagram.

Ya, saya bukan tidak bersyukur. Saya sangat bersyukur ketika di awal 2009 toko buku konvensional tersebut hadir di Probolinggo. Tapi, saya sadar, toko buku bukanlah lembaga sosial. Mereka harus mencari untung. Dan, mencari keuntungan, dekat hubungannya dengan apa yang saat ini diminati masyarakat.

Maka, jangan disalahkan jika lambat laun tak lagi saya jumpai bahan-bahan bacaan yang lezat lagi bergizi seperti di awal-awal berdirinya. Yang ada di situ akan tak jauh dari alat tulis kantor (ATK) dan ragam buku best seller (baca: aneka ragam LKS dan buku-buku pelajaran, buku-buku agama, buku-buku motivasi dan cara cepat jadi kaya, serta novel-novel Wattpad).

Nah, yang dilakukan Windy dan Irwan berbeda. Seno Gumira Ajidarma menyebutnya ”perlawanan”. Ya, meski tak terlepas dari nuansa bisnis, mereka tetap membawa idealisme pegiat literasi. Windy dan Irwan tak hanya menjual buku, tapi juga mengajak masyarakat untuk menyukai buku. Bagi saya, mereka tidak hanya mendekatkan pembaca kepada akses-akses bacaan, tetapi juga menghadirkan alasan kenapa masyarakat harus suka baca.

Patjar Merah dilaksanakan di eks gedung bioskop. Tapi, yang saya rasakan, ketika kali pertama menginjakkan kaki ke sana kemarin, kesan lawas, terbengkalai, dan suwung tidak terasa. Tempat itu disulap dengan dekorasi yang menakjubkan. Dari pintu masuk, tempat pameran, panggung, tempat istirahat untuk melepas penat, hingga pintu keluar, semua berhias ornamen dan gambar yang keren. Kutipan-kutipan pesohor Indonesia, utamanya Tan Malaka, mendominasi setiap sudut.

Artinya, acara literasi ternyata tak melulu harus digelar di tempat yang populer. Dengan konsep yang keren, papar Windy, acara tersebut dihadiri 3.000-an orang per hari dan mereka anak-anak muda lho. Ya, bisa jadi karena selain bazar buku murah dan bangunan lawas yang dipermak dengan dekorasi yang instagramable, Patjar Merah juga mempunyai agenda literasi yang menarik. Melalui akun Instagram-nya @patjarmerah_id, diinfokan beberapa pelaku literasi lokal dan nasional hadir untuk mengisi diskusi maupun workshop tentang dunia literasi.

Di hari pertama, misalnya, ada Seno Gumira Adjidarma, Wawan Eko Yulianto, Reda Gaudiamo, Adhitya Mulya, dan Bernard Batubara. Belum lagi berturut-turut sampai di hari penutupan, akan banyak sastrawan, kreator konten, kartunis, pemusik, dan filmmaker yang terlibat. Antara lain Aan Mansyur, Yusi Avianto Pareanom, Alexander Thian, Ria Papermoon, Khoirul Anwar, Valiant Budi, dan Puthut EA. Juga Ivan Lanin, Kalis Mardiasih, Siska Nirmala, Marrysa Tunjung Sari, Judith dan Genta, Iksan Skuter, Bobby Prasetyo, Mahesa Desaga, serta lainnya. Mereka berada di sana sebagai pemikat sekaligus pengikat yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya melek ilmu melalui membaca.

Patjar Merah diambil dari salah satu tokoh fiksi karya Matu Mona. Patjar Merah adalah metafora dari tokoh Tan Malaka. Tokoh yang pernah berkata bahwa tak apa kalau tak beli pakaian atau tak makan, yang penting otak terisi dengan buku.

Sebagai penutup, saya hanya ingin berterima kasih dan berujar untuk Windy dan Irwan –yang sekaligus menunjukkannya kepada teman-teman saya para pegiat literasi di Probolinggo, ”Nah, lihatlah, betapa panggung sastra sebenarnya mampu mengundang kerumunan. Maksud saya, bukan hanya event-event musik, melainkan diskusi-diskusi literasi. Jika Windy dan Irwan bisa, kita juga bisa lho. Terima kasih, Patjar Merah!” (*)

Stebby Julionatan, penggerak literasi, di Probolinggo

 

*) tulisan ini dimuat di Jawa Pos. Minggu, 4 Agustus 2019.

Leave a comment