budaya, cinta, hobby, motivasi, penghargaan, sastra

OMAH PADMA DAN ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE DESA


Oleh: Stebby Julionatan*)

 

Kata “desa” meski identik dengan tempat yang nyaman dan asri untuk ditinggali, tapi selalu disejajarkan dengan kata “tertinggal’. Dengan sesuatu yang usang, tidak modern, miskin dan bodoh. Rasa-rasanya, kalau Anda tinggal di desa, Anda tidak berhak untuk mengakses kemajuan, baik secara ekonomi, teknologi maupun pendidikan.

Tentunya hal tersebut tidak berlaku di Omah Padma. Ya, omah (baca: rumah) kreatif yang didirikan pasangan sastrawan Wina Bojonegoro dan seniman lukis Yoes Wibowo di Desa Capang, Kab. Pasuruan ini seakan menjawab kegelisahan makhluk-makhluk intelektual macam saya yang senantiasa haus akan ilmu, tetapi tetap ingin tinggal di lingkungan yang nyaman lagi asri.

Meski tinggal di desa, Wina dan Yoes menjamin penghuninya tidak akan ketinggalan zaman.Ya, sebagai makhluk yang berpikir, atau homo sapiens, apa sih yang rasa-rasanya tidak bisa kita temukan di Omah Padma? Sinyal HP, jaringan internet yang lancar, dan catu daya listrik. Ya, bukankah itu kebutuhan dasar yang diperlukan oleh manusia milenial macam saya? Tapi tak berhenti di sana. Kehausan saya akan pelatihan pengembangan diri dan diskusi-diskusi cerdas pun difasilitasinya.

Continue reading “OMAH PADMA DAN ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE DESA”

keseharian, pariwisata, renungan

WISATA… tak hanya untuk bersenang-senang


Hari ini aku dan mBak Surya pergi ke BAPEDALDA – Pasuruan untuk menemui Bu Nita. Soalnya waktu keberangkatan mereka ke Makasar sudah semakin dekat, dan belum ada kepastian dari beliau. Syukurlah, tanpa membutuhkan waktu yang lama, akhirnya kami mencapai kesepakatan. 75 juta untuk 28 orang ke Makasar (2D1N).

Tapi pelajaran berharga yang boleh aku terima hari ini bukan dari Bu Nita (yang notabene sudah memberikan nilai kontrak yang cukup berharga bagi pundit-pundi uang di kantongku. Hehehe) Melainkan dari Bu Liliek. Beliau adalah Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Pasuruan. Ceritanya begini: Pas kami presentasi ke beliau masalah tour untuk siswa-siswi di sekolah yang beliau tangani, dengan banyak permintaan maaf, beliau malah tidak setuju dengan konsep tour yang kami tawarkan yang cenderung lebih banyak bertujuan untuk bersenang-senang saja. Beliau lebih suka pada apa yang bisa siswa-siswinya dapatkan melalui tour dalam bidang pendidikan mereka ke depannya. Dia lebih tertarik kalau anak-anak di sekolahnya diajak melihat bagaimana proses pendidikan atau kegiatan belajar mengajar yang terjadi di sekolah-sekolah unggulan seperti SMA Taruna Magelang atau IPDN di Jatinangor.

“Ga takut Bu kalau nanti anak-anak malah mencontoh adegan kekerasan yang sering terjadi di IPDN?” tanyaku iseng-iseng. “Tidak,” Jawab beliau mantap. “Meski IPDN terkenal dengan vandalismenya, setidaknya kita kesana bukan untuk mempelajari kebiasaan negatif mereka tetapi energi positif mereka dalam belajar.”

Well, dengan kata lain, Bu Liliek ingin memperlihatkan kepada siswa-siswinya bahwa yang begini ini lho contoh anak-anak bangsa yang menghargai begitu besar arti pentingnya sebuah pendidikan.

Hiiiihihihihiiii… *baca dengan gaya tawa ala kuntilanak*, aku seperti bangkit dari kubur. Pendapat Bu Liliek mengenai esensi lain dari sebuah perjalanan wisata benar-benar telah menyadarkanku. Ia telak menamparku. Tampaklah memar kemerahan berbentuk telapak tangan di pipiku. Selama ini aku telah terbuai pada tujuan wisata untuk bersenang-senang saja. Selama ini aku telah terbuai pada tujuan wisata untuk melarikan diri dari penatnya kegiatan belajar di sekolah dan atau menumpuknya tugas-tugas di kantor.

Memang sebenarnya tujuan wisata tidak hanya untuk pelesir. Ada juga wisata yang dilakukan untuk tujuan kesehatan, untuk belajar, untuk keagamaan maupun untuk olahraga yang kesemuanya (pada akhirnya nanti) bertujuan untuk menambah potensi diri. Kita jadi semakin fresh, kita semakin kenyang pengalaman, kita semakin sabar, kita semakin pandai, dan kita semakin dekat kepadaNya.

Air cucuran atas jatuhnya ke comberan juga…

Aku juga tidak ingin menyalahkan pihak lain atas kelalaian yang telah aku perbuat, aku cuma ingin berbagi cerita. Tak lama ini perusahaan tempatku bekerja menangani tour untuk dewan. (jangan tanya itu dari dewan daerah mana ya?) Di dalam SPJ mereka minta dibuatkan untuk melaksanakan kunjungan kerja ke Aceh Darusalam tapi pada kenyataannya mereka berlibur ke Thailand.

Kalau membaca kisah Bu Liliek di atas, setidaknya para anggota dewan itu merasa malu karena mereka telah menghianati salah satu unsur tujuan wisata. Tak hanya menghianati salah satu unsur tujuan wisata, mereka bahkan telah berhianat pada amanat rakyat. Tapi begitulah, kalau bapak-bapak pejabat negeri ini telah mengajarkan kita untuk berkhianat pada amanat rakyat, maka rakyat (termasuk diriku) jugalah yang nantinya akan belajar untuk melakukan desersi.