politik, sastra, spiritualitas

tuhan dalam huruf kecil


sebutir pil penawar kekecewaan di Pesta Penyair Nusantara II

Saya berbeda dengan Zawawi. Saya tidak sependapat dengannya. Sebagaimana yang dia tulis dalam harian Jawa Pos (Minggu, 13 Juli 2008), di tengah keterbatasannya, Pesta Penyair Nusantara II yang digelar di Kediri pada tanggal 30 Juni – 2 Juli berlangsung seru. Pun menurutnya, ketidaksiapan panitia di bidang pendanaan, bukanlah masalah besar. Bagi saya tidak. Terus terang saya kecewa. Pesta Penyair Nusantara II sangat jauh berbeda dari harapan saya.

Saya kecewa bukan karena masalah pendanaan yang seret, sehingga Pesta Penyair Nusantara jauh dari kesan gemerlap. Saya kecewa bukan karena kealpaan panitia dalam menyediakan makan malam dan sarapan yang membuat saya harus dilarikan ke rumah sakit karena serangan cholic abdomen. Pula, saya pun tidak kecewa karena t-shirt yang seharusnya dibagikan secara cuma-cuma oleh panitia kepada peserta ternyata dijual. Jauh… jauh… dan sangat jauh dari itu semua, saya kecewa karena Pesta Penyair Nusantara jauh dari harapan saya.

Seperti apa jauhnya?

Well, sebagai penulis muda, ketika memutuskan untuk datang ke acara tersebut, saya berharap dapat menyaksikan secara langsung Jerro Wacik yang menggunting pita untuk meresmikan acara. Saya juga berharap dapat menyaksikan bagaimana hebohnya Ratna Sarumpaet saat dia menjadi narasumber dalam sebuah diskusi panel. (Samakah hebonya dengan saat dia menjadi panelis dalam acara Silat Lidah di televise?) Saya berharap dapat bertemu langsung dengan Habbirurahman El Sirozi, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy, serta Korri Layun Rampan dan juga berharap mendapatkan tanda tangan mereka. Hehehe…. Aneh kan?! Bahkan mungkin terdengar naïf dan “ndesani” bagi penulis kawakan seperti Zawawi. Tapi memang itulah yang saya harapkan. Itulah kenyataannya.

Kembali ke perkataan Zawawi, saya kembali heran, bagaimana bisa orang se-gaek Zawawi bisa berkata bahwa diskusi yang berlangsung di aula Universitas Kadiri seru??? Bagi saya, apa yang saya dapatkan di dalam seminar hanyalah debat kusir. Persoalan feminisme mengedepan tanpa mendapatkan titik temu, angkuhnya menara gading sastra dalam kehidupan sosial masyarakat, politik dalam sastra antara partai lendir dan partai tahir, blow up media yang membuat ‘tulisan biasa’ jadi laris bak kacang goreng, adalah beberapa feses-feses budaya yang tercecer di dalam aula. Sementara di luar, omong-omong santai apa yang terjadi di warung kopi seberang aula yang tiba-tiba meningkat menjadi serius??? Saya tak merasa demikian. Mungkin itu bagi Zawawi dan rekan-rekan seangkatannya. Tapi bagi saya, pembicaraan mereka semakin menyudutkan saya dan rekan-rekan penulis muda yang baru belajar untuk menulis. Saya (dan mungkin kawan-kawan seangkatan saya) yang beraharap mendapatkan guyuran motifasi untuk maju, atau setidaknya dapat sharing pengalaman, malah merasa pembicaraan tersebut semakin menyedot kepercayaan diri hingga kering tak bersisa. Gap antar angkatan itu masih terasa.

Tapi di balik itu semua, saya akui, ketika saya memutuskan untuk mendaftar dan ikut serta dalam acara tersebut, saya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Ya… gap itu, tamu-tamu istimewa yang tidak jadi datang itu, sakit itu, termasuk kekhawatiran tidur di rumah-rumah minim fasilitas milik penduduk setempat ala penulis idealis yang anti kemapanan. Mau tidak mau, saya harus siap dengan semua aturannya. Untuk menjadi penulis, bukankah saya harus siap untuk mengikuti semua aturan yang berlaku dalam dunia penulis?!

PIL PENAWAR ITU…

Cukup untuk berbicara mengenai sisi negatifnya.

Terus terang, tak dapat di pungkiri, di dalam Pesta Penyair Nusantara, saya juga merasa menemukan sebuah rumah. Rumah saya. Rumah yang selama ini saya cari. Sebuah rumah dimana saya menjadi anggota keluarganya. Sebuah rumah di mana saya merasa nyaman dan terlindungi. Dan yang paling penting, sebuah rumah di mana saya menjadi diri saya sendiri. Seutuhnya.

Mengapa saya sampai bisa berkata demikian? Sebab rumah ini mampu menjawab keresahan hati saya. Sebab di sini, di rumah ini, adalah tempat di mana tuhan tidak ditulis dalam huruf besar. Ini adalah tempat di mana tuhan hadir sebagai sahabat. Tuhan yang humanis, bukan tuhan yang proletar. Ini adalah tempat dimana tuhan tidak dilafalkan secara terpisah. Ini adalah tempat di mana tuhan tidak dilihat dari salah satu sisi mata angin. Ini adalah tempat di mana tuhan selalu dipertayakan keberadaannya. Sekali lagi, DI-PER-TA-NYA-KAN. Bukan untuk meragukannya, tapi untuk semakin meyakini keberadaannya dalam kehidupan saya. Rumah ini adalah tempat di mana tuhan dicintai dengan kesahajaan bukan dengan ketakutan. Dan saya harap, doa-doa saya, ibadah saya, perbuatan baik saya, amalan saya, semuanya bukan saya tujukan untuk mencari surga. Tetapi karena memang saya mencintainya.

Saya akui, saya tidak berani bicara segamblang kalo saya di gereja. Kalau saya berkumpul dengan orang orang yang sealiran dengan saya. Prrriiitttt…. Kena kartu merah saya. Saya bisa dianggap sebagai desertir. Sebagai Judas yang tidak setia kepada Yesus Si Juruselamat. Sudah tahu Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat, kok diragukan lagi?! Kira-kira seperti itulah kasarannya. Tapi, kalau dengan para penyair ini, mereka sangat welcome dengan keresahan saya. Mereka bisa menerima keberadaan saya yang sibuk dengan pertanyaan di manakah Tuhan? Sebab, rata-rata, mereka juga memiliki keresahan yang sama.

Indahnya…. Yang banyak bisa menjadi satu di tangan penyair, sebab penyair menghargai perbedaan, sebab penyair melihatnya melalui kedalaman dan kejernihan hati. Itulah obat kekecewaan hati saya di dalam Pesta Penyair Nusantara. Tanpa itu, mungkin saya akan merasa pulang ke rumah dengan tangan hampa. Tanpa uang, karena habis untuk pengobatan dan transport. Tanpa sertifikat, karena belum diambil. Tanpa euphoria bertemu Ratna Sarumpaet. Hehehe…