(sebuah otokritik bagi Komunlis)
Oleh : Stebby Julionatan *)
Ubud Writers and Readers Festifal (UWRF) yang dihelat di Ubud – Bali pada 11-15 Oktober 2013 lalu, boleh dibilang, merupakan salah satu magnet bagi dunia pariwisata Indonesia. Anehnya, magnet ini bukan berasal dari objek wisata yang indah atau atraksi kesenian nan memukau para wisatawan sebagaimana umumnya, melainkan berasal dari budaya literasi. Ratusan para penyuka buku, penulis, seniman dan budayawan, baik dari dalam maupun luar Indonesia, tumpah ruah di desa kelahiran Ketut Liyer -tokoh dalam novel Eat, Pray, Love karangan Elizabeth Gilbert. Mereka secara khusus datang dan meluangkan waktu untuk mengikuti perhelatan tahunan ini.
Agak aneh memang ketika sebuah acara literasi yang tak banyak dilirik oleh orang kita (baca: Indonesia), bisa sedemikian sukses menarik para pelancong untuk berkunjung ke Ubud. Antrian di ticket box bisa sedemikian ramainya, melebihi antrian tiket bioskop di daerah penulis. Ruang-ruang diskusi panel pun penuh sesak bahkan tak jarang beberapa orang terlihat rela berdiri demi mengikuti forum diskusi yang dihelat di tiga tempat berbeda: Neka Museum, Left Bank dan Indus Restaurant.
Terbersit di benak penulis, “Gilaaa…. Siapa yang punya ide sebegini kereeeennnn??? Kok bisa ya acara literasi yang beli tiket kok sampai kayak orang mo nonton box office di bioskop? Padahal tiket untuk bisa hadir di acara ini terbilang tidak murah. Tiketnya dipatok di harga Rp. 110.000,- / hari untuk pribumi dan Rp. 935.000,- / hari untuk turis asing. Luar biasa bombastis, kan?!”
Continue reading “UWRF, DARI MANA MAGNET ITU BERASAL?” →
-7.756928
113.211502